Calang -– Suatu ketika di malam hari, hujan turun sangat lebat. Jamaah sedang melaksanakan salat Magrib dengan kusyuk. Ternyata air hujan telah merembes ke dalam mushalla.
Air menggenangi lantai setinggi mata kaki jamaah. Semua sajadah dan kitab suci Alquran basah. Namun jamaah tetap larut dalam ibadah shalat hingga selesai.
Dayah tersebut didirikan oleh ulama besar Aceh di pantai barat selatan, Syekh H Hasan Al-Abati sekitar tahun 1963. Kelompok pengajian ini kemudian dikenal dengan tarikat Naqsyabandi. Syekh Hasan merupakan murid langsung dari ulama besar Aceh yakni Abuya Muda Wali Al-Khalidi.
Keduanya berbesanan setelah anak dari Syekh Hasan dan Abuya Muda Wali menikah. Syekh Hasan ini juga satu angkatan belajar agama dengan Abon Aziz Samalanga.
“Darul Arifin Al-Abati menampung santri lanjut usia berumur sekitar 50 hingga 82 tahun. Rata-rata santri lansia berasal dari kalangan perempuan,” ujar Maturidi, salah seorang pengurus Dayah Darul Arifin Al-Abati kepada Aksi Cepat Tanggap (ACT) Aceh, Jaya, Aceh Jaya, Kamis (7/11/2019).
Meskipun sudah berusia senja, semangat mereka menimba ilmu di dayah yang terletak di Jalan Syech H Hasan Abati Desa Lhuet, Jaya, Aceh Jaya, tidak lekang waktu.
Mereka diantar mengaji oleh anak, cucu, atau kerabatnya ke sana. Maturidi kerap menawarkan tumpangan pulang santri lansia menggunakan mobilnya.
“Mereka (santri lansia) ingin berada di dayah dan belajar karena ingin menyelamatkan shalat jamaah. Dengan bersama mereka menjadi semangat beribadah,” kata Maturidi yang juga Ketua Masyarakat Relawan Indonesia (MRI) Aceh Jaya – ACT Aceh.
Dayah tersebut diupayakan bisa mengakomodir santri lansia yang ingin menetap di dayah demi optimalnya mereka beribadah. Maturidi, begitu tersentuh hatinya kala mendengar ungkapan hati salah seorang santri lansia.
“meskipun kami sudah tua, kami ingin tetap belajar. Dengan bersama-sama kami bisa melakukan banyak hal. Kalau misalnya sakit juga ada yang melihat,” cerita Maturidi seraya menirukan ucapan santri tersebut.
Aktifitas belajar mengajar pada pada hari Selasa, malam Selasa dan malam Jumat berlangsung di mushalla berukuran 20×20 meter yang sudah berusia lebih setengah abad.
Para lansia belajar tentang akhlak, salawatan, tawajjuh, serta meresapi masa tua. Tidak hanya itu, mereka juga diajak membiasakan bersedekah sebelum dhuha dengan alakadarnya.
“Kalau mereka tidak punya uang, pihak dayah memberikan mereka uang agar disedekahkan,” terang Maturidi.
Di samping itu, lanjutnya, sebulan sekali pihak dayah bekerja sama dengan Puskesmas setempat mendatangkan dokter guna mengecek kesehatan santri lansia. Sementara dari pihak dayah juga mengajak santri lansia berolahraga ringan dengan membersihkan lingkungan dayah waktu pagi.
“Dulu, masih ada beberapa santri lansia menginap di sana. Terdapat lima kamar inap santri, tiga kamar mandi, dan satu dapur yang bisa digunakan. Tetapi hal tersebut mustahil dilaksanakan kembali karena dayah tidak lagi memiliki biaya operasional,” terang Maturidi
Di tengah semangatnya santri lansia, pengurus dayah mengalami kendala dari segi fasilitas. Mushalla yang selalu digunakan santri lansia belajar dan beribadah tersebut daya tahannya kian menurun.
“Mushalla tersebut dibangun tanpa pondasi, atapnya sudah bocor, lantainya sudah lebih rendah dari tanah, dindingnya keropos, plafonnya sudah rusak, lantainya 30 cm lebih rendah dari teras, dan tinggi lantai dengan plafon hanya 2,5 meter,” jelasnya
“Kalo hujan airnya merembes ke dalam,” pungkas Maturidi. (Zammil/ria)