“Kebebasan pers akan lebih besar manfaatnya jika disertai peningkatan profesional competence, termasuk di dalamnya profesional ethic”
—- Jakob Oetama —-
Oleh Priyambodo RH
Rangkaian kalimat di atas disampaikan tokoh pers Jakob Oetama medio Januari 2009 kepada sejumlah wartawan di ruang kerjanya.
Hari ini Pak Jakob, demikian panggilan akrabnya di kalangan pers nasional, wafat di usia 88 tahun. Ia berpulang 18 hari jelang hari ulang tahun ke-89 pada 27 September 2020.
Kepada para wartawan, tokoh pendiri kelompok bisnis multimedia Kompas Gramedia (KG) tersebut senantiasa berpesan betapa pentingnya meningkatkan kompetensi diri dan menjunjung tinggi kode etik jurnalistik sebagai kehormatan sekaligus kewajiban profesi berjurnalisme.
Ucapan mengenai kompetensi profesional dan etika profesional juga termaktub di halaman 459 buku karya Jakob Oetama yang berjudul Pers Indonesia, Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, garapan Penerbit Kompas, Jakarta, pada September 2004 untuk cetakan ketiga.
Saat ada yang menanyakan betapa persisnya ucapan langsung Pak Jakob dengan yang tertoreh di bukunya, ia pun berujar, “Saya berangkat jadi guru, kemudian jadi wartawan. Saya terbiasa menyampaikan yang tertulis sama persis dengan yang terucapkan.”
Bahkan, pria yang tempat lahirnya di kawasan Candi Borobudur, Jawa Tengah, tersebut sering melontarkan kelakar sekaligus satu makna hidupnya. “Jadi guru dan wartawan itu sama. Tugasnya mendidik. Guru di ruang kelas kecil. Wartawan mendidik masyarakat luas, kelasnya besar, bisa tidak terbatas.”
Selain itu, ia menimpali, “Jadi guru dan wartawan harus punya pantangan yang sama. ‘Ojo Jarkoni, iso ujar ning ora iso nglakoni’.” Kalimat terakhir menggunakan Bahasa Jawa, yang artinya “Jangan Jarkoni, bisa berujar namun tidak bisa menjalani.”
Pemikir, pendidik, panutan
Oleh karenanya, banyak tokoh menilai Pak Jakob adalah sosok pemikir sekaligus pendidik yang patut menjadi panutan. “Pak JO benar-benar sosok pemikir, filsuf, dan wirausahawan top! Saya banyak belajar langsung maupun lewat tulisan beliau,” kata Parni Hadi, Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi LKBN ANTARA (1998-1999).
Parni mengakui mengagumi Pak JO, sebutan dari singkatan nama Jakob Oetama, sejak awal karir menjadi wartawan ANTARA pada 1973. Tajuk Kompas dari Pak Jakob dan Petrus Kanisius Ojong (1920-1980) terkenal tajam mengritisi masalah, namun santun dalam menyampaikan dalam langgam jurnalistik.
Saat mendapat tugas menjadi wartawan Istana Kepresidenan RI pada 1980-an, Parni mengenang, sering bertemu, berdiskusi sekaligus belajar langsung dari Pak Jakob. Apalagi, Pak Jakob pergaulannya luas, termasuk dikenal dekat dengan Presiden Soeharto.
Bahkan, para calon Presiden RI setelah Soeharto, yang akan mengikuti Pemilihan Umum Presiden tercatat sempat beraudiensi ke ruang kerja Jakob Oetama di Gedung Kompas, Jalan Palmerah, Jakarta.
“Pak Jakob Oetama adalah mata air keutamaan bagi kepentingan sesama. Pendiri Kompas, tokoh pers, guru besar, dan mata air keutamaan pula bagi seluruh wartawan Indonesia,” demikian komentar Parni Hadi, yang juga Direktur Utama Lembaga Penyiaran Publik Radio Republik Indonesia (LPP RRI) pada 2005-2010.
Pergaulan luas Pak Jakob pernah disampaikan pula ke sejumlah pengurus Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Pusat yang ditemui di ruang kerjanya. “Wartawan sejatinya harus luwes bertemu siapa pun. Menghormati dan santun kepada orang lain menjadi watak kita, termasuk kewajiban menjalani profesi.”
Oleh karena itu, ia mendapat banyak penghargaan atas prestasi maupun perilakunya. Bintang Mahaputera Utama (1973), Doktor Kehormatan (’Honoris Causa’) dari Universitas Gajah Mada (UGM) 2003, dan “The Order of The Rising Sun. Gold Rays with Neck Ribbon” dari Kaisar Jepang (2010) adalah segelintir pengakuan untuknya dari berbagai kalangan di Indonesia maupun dunia.
Kesejahteraan wartawan
Nasib wartawan, terutama menyangkut kesejahteraannya, juga menjadi perhatian serius Pak Jakob. Bukan hanya untuk karyawannya di kelompok Kompas Gramedia hingga Hotel Santika, namun kesejahteraan wartawan Indonesia.
Akhir tahun 2008, sejumlah pengurus pusat PWI berdiskusi di ruang kerja Pak Jakob. Saat itu PWI Pusat baru saja berganti kepengurusan untuk masa bakti 2008 hingga 2013. Ia sangat antusias mengetahui PWI akan menyelenggarakan kembali Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Saat itu hadir pula Astrid Adinegoro Suryo, putri bungsu tokoh perintis pers RI Adinegoro (1904-1967).
Saat mendengar setiap pemenang kategori lomba Anugerah Adinegoro akan mendapat hadiah piagam, trofi, dan uang senilai Rp50 juta, senyum pun langsung terkembang di bibir Pak Jakob. Ia pun tampak gembira akan ada pemenang kategori karya jurnalistik pers cetak, radio, dan televisi. Hadiah uang diusulkan untuk pembiayaan liputan khusus masing-masing pemenang.
“Hadiah uangnya jangan ada ketentuan macam-macam. Diberikan utuh saja, dan saya bantu. Saya gembira karena kapan lagi ada wartawan mendadak jadi jutawan atas jerih payahnya?” ujar Pak Jakob kala itu.
Dunia pendidikan dan pelatihan bagi wartawan juga menjadi fokusnya, terutama saat bersama Djafar Husin Assegaff (1932-2013) dan Tribuana Said menyiapkan yayasan pendidikan sesuai mandat Sidang Pleno Dewan Pers di Denpasar, Bali, pada 1985.
Akhirnya, Yayasan Pers Dr Soetomo (YPDS) terbentuk dan pada 23 Juli 1988 mulailah pendidikan dan pelatihan wartawan di Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS).
Nama dokter Soetomo (1888-1938) dipilih karena selain menjadi tokoh pergerakan Budi Utomo pada 20 Mei 1908, ia juga pendiri majalah berbahasa Jawa “Panjebar Semangat” di Surabaya, Jawa Timur, 2 September 1933. Majalah tersebut tetap eksis hingga kini, dan telah berkembang pula dalam versi media siber.
Pensiun sejahtera
Jakob Oetama juga mendirikan Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di kawasan Summarecon, Kabupaten Tangerang, Banten, 20 November 2006. Dan, ia tetap berupaya menghadiri rapat tahunan LPDS, yang nama yayasannya berganti menjadi Yayasan Pendidikan Multimedia Adinegoro (YPMA) pada medio 2008.
Setiap kali memimpin rapat YPMA, ia mengajak pengurusnya yang terdiri atas wartawan dan pimpinan manajemen perusahaan pers nasional untuk senantiasa mengembangkan pendidikan dan pelatihan yang mengutamakan human capital, sumber daya manusia sebagai modal utama.
“Wartawan tentunya harus memenuhi tuntutan zaman. Pendidikan hal utama, agar wartawan hidupnya sejahtera. Kalau nantinya pensiun juga harus sejahtera,” ujarnya.
Filosofi human capital pula yang terasa diterapkan Pak Jakob. Banyak wartawan muda maupun senior menanyakan hal sensitif, yakni bagaimana Kompas sepeninggalnya? Ia malah menanggapinya secara gamblang.
“Kompas sejak awal bukan hanya membuat koran, tetapi juga membangun sistem menjadi guru, memberikan informasi kepada publik melalui cara-cara jurnalistik. Sistem ini sudah terbentuk dan saya percaya generasi muda Kompas bisa mengaktualkannya.” Begitulah Pak Jakob menanggapi dengan ciri khasnya, bicara bernada rendah, teratur, dan senyum selepas bicara.
Bila sudah membicarakan pendidikan dan kesejahteraan wartawan, maka ia selalu penuh semangat. Matanya berbinar-binar, sesekali tangannya terangkat, selalu tersenyum hingga tertawa lebar, bahkan berkomentar: “’You’ boleh juga” bilamana ada gagasan positif dari salah seorang peserta rapat.
Jelang akhir pertemuan, ia terbiasa mengajak semuanya tetap menjalin silaturahim dan banyak berdoa, bersyukur atas semua nikmat dari Tuhan. Itu semua lebih luas tertoreh dalam biografi “Syukur Tiada Akhir, Jakob Oetama 80 Tahun”.
“… if you need something, call me, ya?”, demikian ucapan Bahasa Inggris berlogat Jawa yang sering disampaikan Jakob Oetama saat berpisah dengan orang-orang dekatnya. Ucapan penuh ketulusan yang sulit terlupakan. (Antara)
- Priyambodo RH adalah wartawan dan Ombudsman LKBN ANTARA, serta Direktur Eksekutif Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) 2008-2018.