Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kebudayaan Islam yang mengedepankan moderasi di Indonesia, khususnya Aceh, mendapat apresiasi penuh dan patut menjadi contoh bagi umat Muslim di seluruh dunia.
Demikian disampaikan Direktur ICC Iran, Prof. Abdulmajid Hakimelahi, saat mengisi seminar ‘Komunikasi Antar Budaya Asia Tenggara & Asia Barat,’ di Aula Pasca Sarjana, UIN Ar-Raniry, Kamis (4/7/2019).
Abdulmajid mengaku sejak lama telah meneliti dan mengkaji sejarah peradaban Islam di Indonesia, terutama nilai-nilai yang terdapat pada Pancasila sebagai falsafah negara ini. Seiring waktu, kata dia, rasa kagumnya terhadap Indonesia kian bertambah.
“Lebih dari 20 negara telah saya kunjungi, berbagai konferensi saya hadiri. Tapi rasa keberagaman dan kekeluargaan di Indonesia belum pernah saya temui di negara lainnya,” pungkasnya.
Sebagai orang yang melihat Indonesia dari luar, dia terus berharap persatuan tetap terjaga di negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia saat ini. Dia berharap masyarakat Aceh bangga pada modal sosial yang mereka miliki.
“Barangkali orang Indonesia sendiri tidak merasakannya. Tapi percayalah, ini ibarat ikan yang hidup di dalam air, ikan tersebut tidak tahu air itu apa, tapi kita lah yang tahu bahwa itu air,” kata Abdulmajid saat mengumpakan makna damai dalam keberagaman di Indonesia.
“Mungkin, kami lebih dari anda mencintai Indonesia ini. Akhlak, moral, etika, segala hal yang ada di sini jadi modal sosial yang sangat penting dipertahankan,” tambah dia.
Bicara Islam moderat, Abdulmajid menekankan lagi tanggung jawab umat Muslim di Indonesia. Pertama, Islam moderat harus dijaga dan diwarisi ke generasi selanjutnya.
“Jangan sekali membiarkan radikalisme menjajah dan menggerogoti keberagaman di Indonesia,” pintanya.
Selain itu, Abdulmajid mengajak masyakarat Indonesia melihat kondisi negara-negara di Timur Tengah saat ini. Nyaris semua bergolak akibat pengaruh radikalisme yang dimunculkan sekelompok orang atau entitas politik di negara tersebut.
“Anda lihat Yaman, Suriah, Afghanistan dan Irak hari ini, mereka dicabik-cabik radikalisme. Porak-poranda dan sangat sulit memulihkannya seperti sediakala. Ingatlah, dimanapun radikalisme terjadi, tak ada lagi selain kerusakan yang mereka tinggalkan,” imbuhnya.
Dia sekaligus mengapresiasi upaya Pemerintah Indonesia terkait masalah tersebut. Abdulmajid mengatakan, banyak kebijakan yang dinilainya sangat impresif dilakukan pemerintah.
Salah satu hal yang dia apresiasi adalah terselenggaranya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Ulama Dunia atau High Level Consultation of World Muslim Scholars On Wasatiyat Islam (HLC-WMS), tahun 2018.
Terakhir, Abdulmajid berterimakasih kepada pihak penyelenggara seminar tersebut. Dia berharap ke depan akan ada kerjasama lainnya di bidang akademik, antara kampus UIN Ar-Raniry dan perguruan tinggi di Iran, nantinya.
“Terimakasih atas kesempatan ini, kami sangat terbuka untuk kerjasama apapun, terutama untuk pertukaran ilmu pengetahuan,” tandasnya.
Seminar ‘Komunikasi Antar Budaya Asia Tenggara & Asia Barat’ ini digelar Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Pascasarjana UIN Ar-Raniry.
Kegiatan ini turut mengundang pembicara Atase Ekonomi Kedubes Iran, Muh Hassan Tavakkoli, dua orang guru besar UIN Ar-Raniry, Prof. Yusny Saby dan Prof. Alyasa Abu Bakar, serta praktisi film Aceh, Fauzan Santa.
“Kita harapkan tindak lanjut dari kegiatan ini akan ada kerjasama akademik, seperti pertukaran mahasiswa Aceh dan Iran, selain itu kita ingin ada penelitian lanjutan tentang sejarah kebudayaan dan teknologi masa kini,” pungkas Ketua Prodi S2 KPI UIN Ar-Raniry, A Rani Usman. (Fuadi)