Prabowo berada di Aceh sampai Senin untuk rapat dengan menteri dan panglima, tetapi apakah ia akan menyentuh wilayah yang paling terisolasi: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tamiang?
Di tengah badai kritik yang membanjiri seantero negeri – tuduhan lambatnya penanganan, keengganan menetapkan status bencana nasional, dan penderitaan korban yang terus memanas – akhirnya Presiden Prabowo Subianto kembali terjun ke lokasi bencana lagi di Aceh.
Minggu pagi (7/12/2025), pesawat khusus presiden menyentuh landasan Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh, membawa harapan yang ditunggu-tunggu. Meski ini dinilai sudah terlambat sepekan setelah bencana banjir dan tanah longsor melanda dengan kekerasan yang tak tertahankan.
Dunia melihat bagaimana Prabowo, ditemani Gubernur Aceh Muzakir Manaf dan Forkopimda, melesat dengan helikopter ke Kecamatan Juli, Bireuen – salah satu titik terparah. Di sana, jembatan Bailey Teupin Mane, tulang punggung penghubung Bireuen-Takengon yang putus oleh arus ganas, menjadi titik temu pertama. Dengan mata kepala, Presiden menyaksikan alat berat bekerja tanpa istirahat.
Di situ presiden mendengar laporan teknis dari TNI dan PUPR, dan menjanjikan: “Diharapkan satu minggu sudah bisa dibuka.” Tidak bertele-tele, ia menunjuk KSAD Jenderal Maruli Simanjuntak sebagai komandan satgas percepatan infrastruktur – langkah tegas yang seharusnya datang jauh lebih awal.
Lalu, presiden melangkah ke pos pengungsian di Bireuen yang menampung 532 jiwa. Suasana haru menyelimuti ketika beberapa warga menangis menceritakan rumah mereka yang hancur. Prabowo menyapa satu per satu, mendengar keluhan, dan bahkan mencicipi nasi dan ikan tongkol yang dimasak untuk pengungsi.
“Cadangan masih banyak. Untuk para petani, utang KUR akan dihapus,” tegasnya.
Kata-kata itu seperti hujan segar di padang gersang, meskipun korban telah menunggu makanan dan bantuan dasar selama berhari-hari. Bahkan sebelumnya sempat keluar kalimat dari para korban, “kalau tidak bisa bantu makanan, sebaiknya dikirim kain kafan saja” menjadi viral sebagai tanda kemarahan publik.
Namun, di balik kehadiran yang dramatis itu, masih ada bayangan keraguan, masih mengambang.
Prabowo akan berada di Aceh sampai Senin (8/12/2025) untuk rapat dengan menteri dan panglima, tetapi apakah ia akan menyentuh wilayah yang paling terisolasi: Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Aceh Tamiang? Hingga kini, daerah-daerah itu masih terkurung, membutuhkan transportasi udara untuk bantuan. Tidak ada jawaban pasti.
Lebih parah lagi, status bencana nasional yang sangat dibutuhkan untuk membuka pintu bantuan internasional masih tidak ditetapkan – padahal skala kerusakan dan jumlah korban (ratusan meninggal, desa hilang disapu banjir) sudah jelas melebihi batas kriteria.
Kritik tidak hanya mengenai kecepatan penanganan, tapi juga akar masalah. Gelondongan kayu yang terbawa banjir menjadi bukti nyata kerusakan hutan yang parah – membuktikan bahwa bencana ini bukan hanya karena curah hujan semata, melainkan juga akibat kelalaian pengelolaan lingkungan. Ini adalah pertanyaan mendasar yang belum terjawab: siapakah yang bertanggung jawab atas kerusakan hutan yang memperparah bencana?
Prabowo telah melakukan langkah yang benar dengan kembali ke lapangan. Kehadirannya memberikan semangat kepada korban dan petugas. Tapi, ini hanyalah awal. “Terbilang” apakah ia mampu mengubah nasib korban yang terisolasi, menegakkan keadilan atas kerusakan lingkungan, dan mempercepat semua proses rehabilitasi hingga tak ada lagi korban yang kelaparan?
Waktu akan menjadi hakim yang adil. Hujan kritik telah turun, sekarang giliran Presiden untuk menunjukkan bahwa ia benar-benar mengerti bobot tanggung jawab yang diemban. (*)



