Banda Aceh (Waspada Aceh) – Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Aceh menegaskan perlunya penanganan komprehensif dan keterlibatan banyak pihak dalam mencegah perkawinan usia anak.
Kepala DPPPA Aceh, Meutia Juliana, mengatakan, perkawinan anak merampas hak-hak anak di usia belia. Antara lain hak memperoleh pendidikan yang layak, perlindungan, bermain, dan hak anak lainnya.
“Perkawinan anak merupakan pelanggaran terhadap hak-hak dasar mereka,” kata Meutia, menjawab pertanyaan Waspadaaceh.com terkait peringatan Hari Anak Nasional (HAN) ke 40 yang jatuh pada Selasa, 23 Juli 2024.
Ia menambahkan, jika perkawinan usia di bawah 19 tahun tidak disikapi serius, hal ini akan menjadi siklus berulang yang sulit diputus. UU No 16 Tahun 2019 menyebut bahwa usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun baik untuk perempuan maupun laki-laki.
Pernikahan usia anak memiliki risiko serius, termasuk masalah kemiskinan, kesehatan bayi, hingga kerentanan terhadap kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk mengatasi hal tersebut, DPPPA Aceh akan melakukan berbagai upaya pencegahan, termasuk menggelar sosialisasi, melatih aktivis pelopor di tingkat gampong, serta memberikan pelatihan penanganan kekerasan pada perempuan dan anak bagi aparatur desa, organisasi masyarakat, tokoh masyarakat, dan tokoh agama.
Kemudian, pelatihan keterampilan sosial dan ekonomi bagi remaja untuk meningkatkan kemandirian mereka dan mengurangi risiko terjerumus ke dalam perkawinan usia anak.
Kerjasama dengan organisasi masyarakat sipil dan LSM yang peduli terhadap isu anak untuk melakukan advokasi dan pemantauan terhadap kebijakan perlindungan anak.
Meutia menekankan, dampak perkawinan usia anak tidak hanya dirasakan oleh anak yang dinikahkan, tetapi juga oleh anak yang dilahirkan, serta berpotensi memunculkan kemiskinan antar generasi.
“Kami berharap masyarakat lebih sadar akan persoalan menikah usia anak dan bersinergi dalam upaya mencegah perkawinan usia anak,” tutupnya. (*)