Banda Aceh (Waspada Aceh) – Hampir dua dekade berlalu sejak tsunami dahsyat melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Kini, jejak kehancuran fisik yang diakibatkan bencana tersebut nyaris tak terlihat. Namun, di balik kemajuan pembangunan, tantangan mitigasi bencana di Aceh masih menjadi PR.
Ketua Pusat Riset Tsunami dan Mitigasi Bencana (Tsunami and Disaster Mitigation Research Center/TDMRC) Universitas Syiah Kuala, Prof. Dr. Syamsidik menyoroti persoalan besar terkait mitigasi struktural yang belum menjadi prioritas dalam upaya pengurangan risiko bencana.
“Dalam 10 tahun terakhir, kita tidak melihat adanya upaya signifikan dalam mitigasi struktural seperti pembangunan hutan pantai atau kawasan perlindungan untuk menghadapi gelombang tsunami,” ungkapnya saat ditemui waspadaaceh.com, Kamis (19/12/2024).
Menurut Syamsidik, mitigasi struktural menjadi penting karena langsung berhadapan dengan energi destruktif gelombang tsunami.
“Contohnya, pembangunan hutan pantai dapat mengurangi energi gelombang sebelum mencapai daratan. Sayangnya, upaya ini belum banyak dilakukan. Bahkan, kawasan laguna yang seharusnya dipertahankan justru banyak direklamasi untuk pembangunan,” tuturnya.
Pembangunan Kawasan Pantai
Lebih lanjut, Syamsidik mengungkapkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir, pembangunan permukiman baru di kawasan pantai semakin marak.
“Kawasan yang secara risiko tsunami tergolong tinggi kini dipadati oleh permukiman yang dibangun oleh pihak swasta atau developer. Jika pembangunan ini tidak diantisipasi, kita hanya akan menumpuk masalah di masa depan,” ujarnya.
Syamsidik menekankan pentingnya langkah tegas dari pemerintah, termasuk penegakan aturan terkait kawasan lindung. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, setiap wilayah harus memiliki setidaknya 30% kawasan lindung. Namun, jika dikaji per kabupaten/kota, bahkan Kota Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh, belum memenuhi persentase tersebut.
“Penegakan aturan ini harus dibarengi dengan langkah konkret, seperti membebaskan lahan milik masyarakat yang berisiko tinggi untuk bencana. Pemerintah memang harus mencicil upaya ini. Jika terus ditunda, harga lahan akan semakin mahal dan pembangunan akan semakin padat,” jelasnya.
Selain itu, Syamsidik mengusulkan kawasan laguna dan mangrove, seperti di Lampulo, Lhoong, dan Gampong Pande, agar dijadikan kawasan konservasi. Laguna dan mangrove memiliki peran penting dalam mengurangi energi gelombang tsunami.
“Jika kawasan ini direklamasi untuk pembangunan, maka perannya sebagai penahan energi akan hilang. Sebaliknya, kawasan ini harus dibiarkan alami dan bahkan ditanam kembali dengan mangrove,” sarannya.
Sebagai lembaga riset, TDMRC berperan dalam melakukan kajian dan memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Namun, eksekusi tetap menjadi tanggung jawab pemerintah daerah dan nasional.
“Kami berharap, dengan kepemimpinan baru baik di tingkat nasional maupun daerah, ada perhatian lebih terhadap mitigasi bencana struktural. Ini adalah investasi jangka panjang untuk keselamatan masyarakat,” ujar Syamsidik.
Syamsidik juga menyoroti pentingnya edukasi kebencanaan yang terus digalakkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Namun, ia menegaskan bahwa mitigasi struktural tidak boleh diabaikan. “Edukasi penting, tapi harus diimbangi dengan infrastruktur yang mendukung keselamatan,”jelasnya
.
Dengan potensi bencana yang masih mengintai, upaya mitigasi harus menjadi perhatian bersama. Menunda langkah hari ini, berarti menumpuk risiko di masa depan. Pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya diharapkan dapat bersinergi demi menciptakan Aceh yang lebih aman dari ancaman bencana. (*)