Jumat, September 19, 2025
spot_img
BerandaAcehHAM dalam Dunia Usaha: Antara Upah Layak, Kesetaraan, dan Tanggung Jawab Sosial

HAM dalam Dunia Usaha: Antara Upah Layak, Kesetaraan, dan Tanggung Jawab Sosial

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketika mendengar istilah hak asasi manusia (HAM), sebagian orang mungkin langsung membayangkan penindasan, konflik, atau kekerasan. Namun, dalam dunia usaha, HAM justru hadir dalam bentuk yang lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari: upah layak, keselamatan kerja, hingga tanggung jawab sosial perusahaan.

Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Aceh, Zulmahdi Hasan, dalam rapat koordinasi penilaian HAM bagi pelaku usaha tahun 2025 yang digelar oleh Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia Kantor Wilayah Aceh pada Kamis (18/9/2025).

Menurut Zulmahdi, isu pertama yang tidak bisa diabaikan adalah persoalan upah. Hubungan antara pekerja dan pengusaha kerap tarik-menarik: pengusaha ingin menekan biaya, pekerja menginginkan gaji lebih besar.

“Yang penting adalah mencari titik keseimbangan, upah layak itu bukan soal besar kecilnya, tapi kesesuaian dengan beban kerja dan kebutuhan hidup,” ujarnya. Ia menambahkan, pekerja juga perlu memahami konteks, begitu pula pengusaha harus menghindari praktik menggaji terlalu rendah.

Selain upah, Zulmahdi menekankan pentingnya jam kerja yang manusiawi serta K3 (kesehatan dan keselamatan kerja)sebagai perlindungan mendasar bagi pekerja. “Proteksi keselamatan kerja adalah catatan penting agar pekerja tidak menjadi korban hanya karena kelalaian atau lemahnya standar,” ujarnya.

Isu lain yang mengemuka adalah kebebasan berserikat, kesetaraan gender, serta anti-diskriminasi. Zulmahdi mencontohkan bahwa buruh muslim maupun non-muslim, laki-laki maupun perempuan, termasuk penyandang disabilitas, harus diperlakukan sama. Hak anak juga mendapat sorotan, terutama larangan kerja paksa serta pemenuhan hak anak yang terlibat dalam pekerjaan.

Tak hanya itu, dunia usaha juga dituntut untuk menghormati hak komunitas lokal serta menjaga lingkungan hidup. Limbah industri dan praktik yang merusak adat atau ruang hidup masyarakat dinilai sebagai bentuk pelanggaran HAM yang kerap luput. Privasi pekerja dan tanggung jawab sosial perusahaan juga masuk dalam agenda penting.

Sebagai organisasi yang berdiri di bawah Undang Undang Dasar (UUD) dan diresmikan sejak 1 Januari 1987, KADIN berperan sebagai jembatan antara pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Tugasnya mencakup advokasi, pengelolaan regulasi, hingga sosialisasi isu-isu HAM kepada Usaha Masyarakat Kecil Menengah (UMKM) dan pelaku usaha.

“KADIN berbeda dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dari sisi pembentukan, tapi isu yang kami tangani sama: memastikan dunia usaha sejalan dengan nilai-nilai HAM,” jelas Zulmahdi.

Ia juga menyinggung fenomena global: perusahaan yang diboikot karena bermitra dengan pihak yang terlibat konflik, seperti Israel di Palestina. Menurutnya, itu menjadi bukti nyata bahwa pelanggaran HAM tidak hanya berdampak pada pekerja, tetapi juga bisa menghancurkan reputasi bisnis di mata dunia.

Di Aceh sendiri, Zulmahdi menambahkan, penerapan nilai-nilai Islam dalam menjalankan usaha dapat menjadi pijakan untuk memastikan dunia bisnis tidak sekadar mengejar keuntungan, tetapi juga menjaga martabat manusia.

“Pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, dan KADIN harus saling menjembatani agar tidak ada lagi pelanggaran HAM dalam praktik usaha,” tegasnya. (Nisrin)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER