Tantangan terbesar yang dihadapi Kapolda Aceh justru dugaan keterlibatan oknum aparat.
Deklarasi Green Policing oleh Kapolda Aceh dihadiri Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah dan Pangdam IM, Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo serta unsur Forkopimda lainnya, merupakan angin segar dalam upaya pelestarian lingkungan di tengah maraknya aktivitas tambang ilegal yang merusak.
Namun, pertanyaan besar muncul: mampukah Polda Aceh benar-benar membersihkan praktik haram ini, mengingat adanya dugaan keterlibatan oknum aparat sebagai backing dan penerima upeti?
Wakil Gubernur Aceh atas nama Pemerintah Aceh dengan tegas mendukung penuh Green Policing. Ia mengakui tambang ilegal bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam kehidupan masyarakat dan memicu konflik sosial. Dukungan ini menjadi modal penting bagi Kapolda Aceh dalam menjalankan misinya.
Pemerintah Aceh sendiri telah mengeluarkan Instruksi Gubernur (Ingub) Nomor 08/INSTR/2025 tentang Penataan dan Penertiban Perizinan/Non Perizinan Berusaha Sektor Sumber Daya Alam. Instruksi yang ditandatangani Gubernur Muzakir Manaf pada 29 September 2025 itu menjadi langkah tegas pemerintah dalam menertibkan aktivitas tambang ilegal hingga pengelolaan lahan yang tidak sesuai aturan.
Kebijakan ini kemudian diikuti dengan kesepakatan Gubernur Aceh, Muzakir Manaf dan Panglima Komando Daerah Militer Iskandar Muda (Pangdam IM), Mayor Jenderal TNI Joko Hadi Susilo, untuk membentuk Satuan Tugas (Satgas) khusus untuk menertibkan aktivitas tambang ilegal yang marak di berbagai wilayah di Aceh.
Kapolda Aceh, Irjen Pol Marzuki Ali Bashyah, menyadari bahwa persoalan tambang ilegal tidak bisa hanya dilihat dari sisi hukum. Penting pendekatan sosial, edukatif, dan kolaboratif. Polda Aceh juga telah mengambil langkah konkret, seperti berkoordinasi dengan berbagai pihak, khususnya Dirjen Minerba Kementerian ESDM dan Pemerintah Aceh untuk membentuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) sebagai solusi legal bagi masyarakat.
Namun, tantangan terbesar yang dihadapi Kapolda Aceh justru dugaan keterlibatan oknum aparat. Pansus DPR Aceh mengungkap adanya penyetoran uang keamanan dari pemilik ekskavator tambang ilegal kepada aparat penegak hukum, dengan nilai fantastis mencapai Rp360 miliar per tahun. Jika dugaan ini benar, maka Kapolda Aceh harus berani mengambil tindakan tegas terhadap oknum-oknum tersebut, tanpa pandang bulu.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh mendesak agar temuan Pansus DPR Aceh ini diusut tuntas hingga ke pengadilan. Aparat penegak hukum yang terlibat harus diseret ke pengadilan, dan proses hukumnya harus transparan ke publik.
Keberhasilan Green Policing Polda Aceh akan menjadi ujian bagi integritas dan komitmen Kapolda Aceh dalam memberantas korupsi dan menjaga kelestarian lingkungan. Masyarakat Aceh menaruh harapan besar agar Kapolda Aceh mampu membuktikan bahwa hukum benar-benar ditegakkan, tanpa tebang pilih.
Pemberantasan tambang ilegal bukan hanya tugas Polda Aceh, tetapi juga seluruh elemen masyarakat. Pemerintah daerah, tokoh agama, tokoh masyarakat, akademisi, dan media massa harus bersinergi untuk mendukung Green Policing. Dengan kerja sama yang solid, diharapkan Aceh dapat terbebas dari praktik tambang ilegal dan mewariskan lingkungan yang lestari bagi generasi mendatang.
Deklarasi Green Policing harus menjadi momentum untuk memperkuat pengawasan hukum terhadap tambang ilegal dan mendorong kerja sama lintas lembaga demi lingkungan Aceh yang lebih lestari. (*)