Kamis, April 25, 2024
Google search engine
BerandaEditorialGerakan Moral Mengikis “Sindrom Kepiting”

Gerakan Moral Mengikis “Sindrom Kepiting”

“Kontestasi Ketua DKP PWI dan Ketua PWI Aceh telah berakhir tengah malam tadi. Terimakasih kepada 101 anggota PWI Aceh yang mensuport kami dengan ikhlas. Pelajaran berharga bahwa gerakan moral saja tidak cukup untuk membuat sebuah perubahan. Salam Sehat Selalu….”

Begitu pesan moral disampaikan Aldin Nainggolan (Aldin NL), lewat dinding facebook miliknya, usai Konferprov PWI Aceh, yang berakhir Minggu dini hari (21/11/2021), di Hermes Hotel Banda Aceh. Aldin salah satu calon Ketua Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Aceh, yang memperoleh suara beda tipis (101 : 107) dari kompetitornya, Tarmilin Usman.

Gerakan moral memang menjadi agenda sebagian anggota PWI Aceh, dengan tekad ingin memecah “kebuntuan” yang mereka rasakan selama ini. Tapi gerakan moral mestinya tidak hanya bergulir pada saat Konferprov, tapi juga harus terus didorong untuk melakukan suatu perubahan atau pembaharuan demi kemajuan organisasi.

Memang dalam perjalanan sebuah organisasi apa pun, akan muncul “status quo” yang sudah merasa nyaman dengan kondisi apa adanya. Biasanya, status quo ini pula yang anti perubahan. Bahkan tanpa malu, kalangan ini menyuarakan isu-isu primordial (kedaerahan atau kesukuan).

Kalangan status quo mampu dan tega “mengebiri” orang-orang terdekatnya untuk tetap bersamanya. Bila coba-coba ingin berjalan lebih cepat atau keluar dari “zona nyaman,” untuk mencari pengalaman baru, maka siap-siaplah dia untuk ditarik kembali (digagalkan).

Kalangan pengamat prilaku sosial menyebutnya sebagai “sindrom kepiting.” Apa itu? Ibarat sekumpulan kepiting di dalam sebuah ember. Bila ada kepiting yang berusaha untuk memanjat ember, karena ingin keluar dari wadahnya yang pengap itu, biasanya akan selalu menemui kegagalan.

Mengapa demikian? Gagalnya dia bukan karena tidak mampu, tapi karena saat sudah akan mencapai puncak, maka kepiting-kepiting yang berada di bawahnya akan menariknya kembali turun. Alhasil, hingga kapan pun, tak ada seekor kepiting pun yang akan berhasil keluar dari zona itu. Zona “status quo.”

Tapi tentu saja kita berharap, rekan-rekan wartawan di Provinsi Aceh ini, khususnya para anggota dan pengurus PWI, memiliki pikiran yang bijak. Punya pikiran yang menginginkan perubahan lebih baik. Apalagi dalam menghadapi era revolusi industri 4.0 ini, wartawan dituntut lebih bijak berpikir dan bijak bertindak.

Wartawan juga harus meningkatkan kapasitasnya, tidak saja terkait dengan kecerdasan jurnalistik, tapi juga kecerdasan finansialnya. Bila wartawan semakin cerdas tentu wartawan akan terhindar dari penyakit yang kita khawatirkan, yaitu “sindrom kepiting.” Semoga. (**)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER