“Di ruang yang sama, alat tenun kayu tetap berdetak. Di sini, waktu tak menggerus warisan ia justru dipintal menjadi benang kemajuan”
Dentingan kayu bersahutan dengan gemerisik benang. Di sebuah rumah panggung yang dikelilingi hamparan sawah hijau, beberapa ibu-ibu duduk di depan Alat Tenun Kaki Tangan (ATKT).
Jari-jari mereka lincah merapikan benang emas, menyusun pola yang telah diwarisi turun-temurun. Sesekali, tawa pecah di antara deru alat tenun kayu yang berdetak.
Di Gampong Krueng Kalee, Aceh, suara denting tenun ini bukan sekadar irama, melainkan nafas kehidupan yang terus menghidupi wastra warisan budaya Aceh.
Farida, salah satu pengrajin, yangannya bergerak gesit, menyelipkan benang emas ke dalam lungsi, ia sedang sibuk menyusun motif cengkeh di atas kain cokelat dengan benang emas yang berkilau.
Sejak bergabung pada 2019, Farida menyadari bahwa menenun bukan hanya soal menghasilkan karya, tetapi juga melatih kesabaran.
“Menyelesaikan satu helai kain hampir satu meter bisa memakan waktu sebulan, tapi inilah yang mengajarkan saya untuk lebih sabar,” ungkapnya saat ditemui waspadaaceh.com, Kamis (6/2/2025).
Begitu juga Halimah, yang sejak 2019 memilih untuk menekuni tenun songket. Tangannya bergerak lincah, menganyam benang emas untuk menciptakan motif pucok reubong yang ikonik.
“Di sini, kami bukan hanya mencari penghasilan, tapi juga menjaga warisan nenek moyang,” ujarnya
Runah Tenun Mutiara Songket, usaha tenun yang dimulai oleh Nyakmu pada tahun 1977 di Gampong Siem, telah menjadi salah satu penggerak utama industri songket Aceh.
Bermula dengan hanya dua alat tenun kayu dan kapasitas produksi dua set songket per bulan, kini Mutiara Songket berkembang pesat berkat dukungan dari Bank Indonesia dan Dekranas sejak 2018.
Rumah produksi yang semula hanya berukuran 20 meter persegi kini telah memiliki sembilan alat tenun baru, dan kapasitas produksi mencapai 20 set songket per bulan dengan omzet Rp300 juta per tahun.
Sekretaris Mutiara Songket, Putri Atikah mengatakan, dulu mereka hanya melayani pesanan lokal, namun kini Mutiara Songket telah merambah pasar nasional dari Papua, Palembang, Jakarta dan lainnya.
“Pembeli datang dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan songket kami dipakai oleh Ariel Tatum di Paris Fashion Week 2023,” katanya.
Meski sukses menembus pasar nasiolnal, Mutiara Songket masih menghadapi tantangan besar yakni rendahnya minat generasi muda untuk terlibat dalam industri tenun.
“Kami butuh lebih banyak pengrajin, tapi minat anak muda masih rendah. Kita terus berusaha agar mereka tertarik untuk menjaga tradisi ini,” ujar Putri.
Di balik pesona songket yang berkilau, ada cerita panjang tentang kesabaran dan ketekunan. Halimah, misalnya, membutuhkan waktu dua tahun untuk menyelesaikan satu set songket pertama.
Kini, ia mampu merampungkan satu set dalam sebulan. Motif-motif khas Aceh seperti Pucok Reubong dan Bungong Jeumpa yang terinspirasi dari alam dam satu set songket bisa memakan waktu 1 hingga 6 bulan untuk diselesaikan.
“Songket terbaik itu bukan tentang kecepatan, tapi tentang ketekunan,” tegas Halimah.
Di Mutiara Songket, ketekunan bukan hanya sekadar proses fisik, tetapi juga jiwa yang ditanamkan dalam setiap helai benang yang dirajut.
Tidak berhenti pada warisan tradisional, Mutiara Songket kini juga berinovasi dengan memperkenalkan motif kontemporer menggunakan benang sulam, namun tetap mempertahankan pakem-pakem tradisi.
Mereka juga aktif mengadakan pelatihan untuk generasi muda Aceh, agar mereka tidak hanya mengenal songket dari museum, tetapi juga dapat menciptakan karya mereka sendiri.
“Kami ingin anak-anak Aceh tidak hanya tahu songket dari cerita, tetapi juga bisa membuatnya,” tambah Putri.
Dentingan alat tenun masih terdengar. Setiap detakannya mengingatkan kita bahwa songket Aceh bukan sekadar kain. Ia adalah bahasa yang tak pernah berhenti bercerita, sebuah cerita yang terus hidup dan dipelihara oleh perempuan-perempuan Aceh dengan segala ketekunan dan harapan untuk masa depan. (*)