Jumat, Desember 26, 2025
spot_img
BerandaOpiniGaram Lokal Aceh Sebagai Bahan Penyimpan Energi Terbarukan

Garam Lokal Aceh Sebagai Bahan Penyimpan Energi Terbarukan

Dalam pengembangan energi terbarukan, garam juga berperan sebagai material penyimpan energi termal atau phase change material (PCM).

Penulis: Dr. Gunawati, S.Si., M.Si

Selama ini, kata garam identik dengan bumbu dapur pelengkap makanan. Padahal, jika ditelaah lebih jauh, garam menyimpan potensi strategis yang sangat luas, mulai dari aspek produksi hingga pemanfaatannya dalam industri dan energi terbarukan.

Dari hulu ke hilir, garam bukan sekadar komoditas konsumsi, tetapi juga bahan penting dalam pengembangan teknologi masa depan.

Di sisi hulu, garam diproduksi melalui metode tradisional maupun modern. Dari sekitar 100 persen air laut, hanya sekitar satu persen yang menjadi kristal garam, sementara sisanya menguap atau menjadi turunan garam yang sering kali belum dimanfaatkan secara optimal.

Di sisi hilir, pemanfaatan garam terbagi ke dalam dua kategori utama, yakni garam konsumsi dan garam industri. Garam konsumsi mensyaratkan kandungan natrium klorida (NaCl) minimal 94 persen, sedangkan garam industri memiliki standar yang lebih beragam.

Industri kimia, misalnya, memerlukan garam dengan kandungan NaCl minimal 96 persen. Industri makanan dan minuman membutuhkan 97 persen, industri farmasi hingga 99 persen, sementara industri perminyakan memerlukan sekitar 95 persen. Untuk kebutuhan pengolahan air dan penyamakan kulit, kandungan NaCl yang dibutuhkan relatif lebih rendah, yakni sekitar 85 persen.

Di luar fungsi konsumsi dan industri, garam juga memiliki keterkaitan erat dengan sektor energi. Dalam konteks ini, garam berperan baik sebagai media penghasil energi listrik maupun sebagai bahan penyimpan energi.

Air garam dapat menghasilkan listrik melalui proses elektrokimia, di mana ion-ion dalam larutan bereaksi dengan elektroda dan menghasilkan aliran elektron berupa arus listrik.

Selain itu, terdapat teknologi baterai garam cair yang memanfaatkan garam leleh atau molten salt sebagai media penyimpanan energi. Baterai ini menggunakan natrium sebagai bahan utama, yang lebih melimpah dan murah dibandingkan litium.

Menurut Lembaga Riset Energi Nasional (LREN), teknologi baterai garam cair memiliki efisiensi penyimpanan hingga 85 persen dan umur pakai yang lebih panjang dibandingkan baterai litium-ion skala besar. Keunggulan lainnya terletak pada ketahanannya terhadap suhu tinggi, tingkat keamanan yang lebih baik, serta biaya produksi yang relatif rendah.

Teknologi ini sangat cocok untuk penyimpanan energi skala besar, seperti pada pembangkit listrik tenaga surya dan angin, terutama di daerah terpencil yang sulit terjangkau jaringan listrik konvensional.

Teknologi berbasis garam lainnya adalah molten salt reactor (MSR), yaitu reaktor fisi nuklir yang menggunakan garam cair sebagai pendingin atau bahan bakar.

Menurut Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), reaktor ini memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi karena tidak beroperasi pada tekanan tinggi dan tidak menggunakan air sebagai pendingin. Jika terjadi kegagalan sistem, bahan bakar garam cair dapat dialirkan ke tangki penyimpanan subkritis, sehingga risiko kecelakaan dapat diminimalkan.

Beberapa negara seperti Amerika Serikat, China, dan Swedia telah mulai mengembangkan proyek uji coba MSR sejak tahun 2020-an.

Dalam pengembangan energi terbarukan, garam juga berperan sebagai material penyimpan energi termal atau phase change material (PCM). PCM menyimpan energi dalam bentuk panas laten yang dilepaskan atau diserap saat material berubah fase dari padat ke cair atau sebaliknya. Dibandingkan dengan material penyimpan energi konvensional, PCM mampu menyimpan energi dalam jumlah yang lebih besar.

Secara umum, PCM terbagi menjadi dua kelompok, yaitu organik dan anorganik. PCM organik meliputi parafin dan alkohol, sedangkan PCM anorganik mencakup garam, garam hidrat, serta logam dan paduannya. Garam memiliki sejumlah keunggulan sebagai PCM, antara lain nilai panas laten yang tinggi, stabil secara kimia, tidak beracun, dan tersedia dalam jumlah melimpah.

Salah satu garam yang berpotensi digunakan sebagai PCM adalah natrium klorida (NaCl). Garam ini memiliki panas laten sekitar 492 kilojoule per kilogram, suhu leleh sekitar 800 derajat Celsius, serta densitas 2.160 kilogram per meter kubik. Karakteristik tersebut menjadikan NaCl cocok untuk aplikasi penyimpanan energi termal, khususnya pada teknologi pembangkit listrik tenaga surya terkonsentrasi atau concentrating solar power (CSP).

Pembangkit listrik CSP bekerja dengan memanfaatkan cermin atau lensa untuk memusatkan cahaya matahari ke sebuah penerima panas. Garam cair dipanaskan oleh energi matahari tersebut, kemudian dialirkan ke tangki penyimpanan panas. Energi panas ini dapat disimpan dalam waktu lama dan digunakan untuk menghasilkan listrik saat dibutuhkan, bahkan ketika matahari tidak bersinar.

Solar Reserve, perusahaan asal California, merupakan perusahaan pertama yang memanfaatkan garam cair (molten salt) sebagai media untuk menyimpan energi secara jangka panjang, yang merupakan contoh aplikasi CSP.

Bagaimana cara kerjanya? Cermin menangkap cahaya matahari kemudian merefleksikan cahaya tersebut ke alat penerima yang diletakkan di atas menara setinggi 195 meter.

Selanjutnya, garam cair tersebut mengalir ke tangki penyimpanan panas yang terisolasi. Ketika pasokan listrik dibutuhkan, garam cair bergerak melalui sistem generasi uap di mana air dipanaskan untuk menghasilkan uap bertekanan tinggi. Uap tersebut menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. Alat tersebut tetap bekerja walaupun matahari bersinar atau tidak bersinar.

Proses generasi uap ini sangat mirip dengan proses yang digunakan untuk menghasilkan listrik dari gas, batubara, atau pembangkit listrik tenaga nuklir, hanya saja pada proses ini, 100 persen menggunakan energi terbarukan, tanpa emisi gas rumah kaca yang berbahaya.

Penelitian terhadap sampel garam Aceh yang diproduksi melalui metode perebusan menunjukkan hasil yang menjanjikan. Berdasarkan uji karakterisasi X-ray fluorescence (XRF), kandungan NaCl pada garam Aceh masih berada pada kategori mutu III dan mengandung sejumlah impuritas.

Namun, hasil analisis thermogravimetric analysis dan differential scanning calorimetry (TGA/DSC) menunjukkan suhu leleh sekitar 792 derajat Celsius dengan entalpi 519 kilojoule per kilogram, nilai yang mendekati standar referensi. Kita maklumi nilai titik leleh masih dibawah 800 derajat Celsius, hal tersebut dikarenakan kualitas kadar NaCl masih masuk kategori mutu tiga.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Jurnal Energi Terbarukan Indonesia tahun 2025 oleh tim Dr. Gunawati, uji kinerja PCM berbasis larutan air dan garam juga menunjukkan bahwa penambahan 10 persen berat NaCl meningkatkan kemampuan penyimpanan dan pelepasan energi hingga 73 persen dibandingkan dengan air murni.

Bahkan, garam tradisional Aceh yang dipanaskan terlebih dahulu pada suhu 400 derajat Celsius menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan tanpa perlakuan panas.

Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa garam lokal Aceh memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan penyimpan energi termal. Tantangan ke depan adalah meningkatkan kadar NaCl hingga mencapai standar mutu industri tingkat I, yaitu minimal 99 persen, serta mengembangkan skala produksi yang lebih besar.

Menurut Dinas Perdagangan dan Perindustrian Aceh, pemerintah provinsi telah merencanakan untuk mendirikan pusat pemurnian garam skala industri di Kabupaten Aceh Timur dan Aceh Besar pada tahun 2026, yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas garam lokal.

Dengan panjang garis pantai yang luas (sekitar 2.967 kilometer, menurut Badan Pusat Statistik Aceh) dan sumber daya alam yang melimpah, Aceh memiliki peluang strategis untuk menjadi pusat produksi garam berkualitas tinggi yang mendukung pengembangan energi terbarukan nasional.

Penguatan riset, teknologi pemurnian, dan kebijakan industri yang tepat akan menjadikan garam lokal tidak hanya sebagai komoditas tradisional, tetapi juga sebagai pilar penting transisi energi berkelanjutan. (*)

  • Penulis adalah Dosen Fisika FMIPA USK (Universitas Syiah Kuala) Banda Aceh.
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER