Kekerasan terhadap anak di lingkungan keluarga maupun publik merupakan fenomena gunung es.
Ada banyak kasus kekerasan tetapi hanya sedikit yang terlapor bahkan sebagian besarnya tenggelam tanpa ditindaklanjuti.
Fenomena gunung es ini terjadi salah satunya karena stigma negatif yang menyelubungi kasus kekerasan seksual. Di mana para korban masih takut melaporkan dan memilih berdiam diri atau bahkan “dibungkam” oleh orang-orang di sekitarnya.
Melindungi anak dengan menyingkap kasus kekerasan pada anak yang belum terungkap menjadi pekerjaan besar bagi semua pihak.
Perlindungan dan Pemenuhan Hak Anak Dimulai Dari Desa
Ketua Komisi V DPRA, M. Reza Fahlevi Kirani, menekankan pentingnya pendekatan preventif dan kuratif dalam mencegah kekerasan terhadap anak.
Menurutnya, pendekatan ini harus dimasifkan mulai dari tingkat gampong, dengan melibatkan berbagai stakeholder, termasuk aparatur gampong yang memahami karakteristik masyarakat setempat.
Reza mengimbau pemerintah kabupaten dan kota di Aceh untuk bersikap proaktif dan serius dalam menangani kasus-kasus kekerasan terhadap anak. Ia menyoroti bahwa penegakan hukum saat ini masih belum cukup memberikan efek jera bagi pelaku, khususnya dalam kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan terhadap anak.
“Kita harus fokus pada pencegahan sebelum kasus kekerasan terjadi,” ujarnya.
Dia juga menyarakankan pentingnya alokasi anggaran yang memadai untuk pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
“Pendekatan yang komprehensif dan kolaboratif diharapkan dapat mengurangi angka kekerasan terhadap anak di Aceh,” tuturnya.
Demi mengantisipasi fenomena gunung es dalam kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Provinsi Aceh terus meningkatkan kualitas pelayanan.
Menurut data dari Dinas PPPA menemukan anak korban kekerasan cenderung meningkat setiap tahun, bahkan pelaku utama pelanggaran hak anak merupakan orang yang dikenal dan relatif dekat dengan anak.
Pada tahun 2020 tercatat sebanyak 485 kasus kekerasan terhadap anak. Angka tersebut naik menjadi 468 kasus pada tahun 2021, kemudian meningkat lagi menjadi 571 kasus pada tahun 2022, dan kemudian semakin meningkat dengan 634 kasus pada tahun 2023.
Bentuk kekerasan terhadap anak paling tinggi yaitu kekerasan psikis tercatat sebanyak 130 kasus, diikuti oleh kekerasan fisik sebanyak 143 kasus, kekerasan seksual 164 kasus, dan pemerkosaan anak 139 kasus.
“Kasus kekerasan terhadap anak ini ibarat fenomena gunung es, yang mana banyak peristiwa di Kabupaten/kota, namun tak terungkap di publik,” kata Kepala Dinas PPPA Aceh, Meutia Juliana.
Meutia mengimbau kepada warga agar berani melaporkan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Jika ada yang melihat, mendengar, atau mengalami kekerasan, segera laporkan melalui hotline UPTD PPA di nomor 0811-6808-875 atau dapat mengunjungi langsung Kantor UPTD PPA yang berlokasi di Jl. Teungku Batee Timoh No 2 Jeulingke, Kec. Syiah Kuala, Banda Aceh.
Ia mengatakan di Aceh juga beberapa daerah telah menetapkan status sebagai Kota Layak Anak. Upaya edukasi telah dilakukan melalui gerakan forum anak dan penyediaan fasilitas ramah anak, seperti Masjid Ramah Anak dan Pesantren Ramah Anak.
Meutia juga menegaskan bahwa isu perempuan dan anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan juga seluruh elemen masyarakat.
“Dengan peningkatan kemitraan dan koordinasi, kita diharapkan dapat mengenali dan mengkaji setiap kejadian di sekitar kita, khususnya yang berkaitan dengan korban kekerasan terhadap perempuan dan anak,” tuturnya. (*)