Banda Aceh (Waspada Aceh) – Sektor pertambangan di Aceh telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pendapatan daerah, mencapai sekitar Rp2,17 triliun sejak 2017 hingga 2025.
Meski demikian, pemerintah menegaskan perlunya pengawasan ketat dan tata kelola yang lebih baik agar potensi ekonomi tersebut tidak menimbulkan kerusakan lingkungan maupun persoalan sosial.
Hal itu disampaikan Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, Said Faisal, dalam diskusi publik bertajuk “Urgensi Moratorium Izin Tambang: Mendorong Perbaikan Pengawasan Tata Kelola Tambang Minerba dan Penertiban Tambang Ilegal di Pulau Sumatera,” di Kantor ESDM Aceh, Rabu (29/10/2025).
“Potensi tambang kita besar, tapi butuh investasi yang bisa dilakukan secara bertanggung jawab. Pemerintah Aceh ingin investasi tetap berjalan, namun dengan pengawasan dan tanggung jawab penuh,” ujar Said.
Said menjelaskan, hingga tahun ini terdapat 63 izin usaha pertambangan (IUP) aktif di Aceh, terdiri atas 11 izin produksi logam, 22 izin eksplorasi logam, 17 izin non-logam, dan sisanya batuan skala besar.
Jumlah tersebut menurun dari 139 IUP yang pernah dievaluasi pada 2014, di mana sebagian besar dicabut karena tidak beroperasi.
Menurutnya, kontribusi dari sektor ini berasal dari royalti, pajak, dana bagi hasil (DBH), dan program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Meski memberi dampak ekonomi positif, kegiatan tambang juga menimbulkan risiko besar terhadap lingkungan dan kesejahteraan masyarakat sekitar.
“Moratorium izin tambang menjadi langkah penting untuk menata ulang izin, memperkuat pengawasan, serta memastikan keberlanjutan lingkungan,” kata Faisal.
Melalui Instruksi Gubernur Aceh Nomor 8 Tahun 2025, pemerintah mempertegas pentingnya evaluasi lintas instansi dalam pemberian izin pertambangan. Prosesnya kini harus berjenjang, dimulai dari rekomendasi desa, kemudian kecamatan, hingga kabupaten, sebelum sampai ke tingkat provinsi.
“Pemerintah Aceh tidak menutup investasi, tetapi memastikan izin yang keluar benar-benar layak secara teknis, lingkungan, dan finansial,” ujarnya.
Evaluasi izin dilakukan bersama antara Dinas ESDM, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), serta pemerintah kabupaten/kota. Kajian menyeluruh diperlukan agar izin yang dikeluarkan tidak menimbulkan persoalan hukum, sosial, maupun ekologis di kemudian hari.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan Kanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013, Aceh memiliki kewenangan khusus dalam mengatur dan mengelola sumber daya mineral dan batubara, termasuk hak atas 80 persen hasil sektor tambang.
Namun, dengan jumlah inspektur tambang yang masih terbatas, pengawasan di lapangan belum sepenuhnya optimal. Karena itu, Dinas ESDM mendorong pelibatan masyarakat dan lembaga sipil dalam pengawasan sebagai bentuk kontrol sosial terhadap praktik tambang ilegal maupun pelanggaran lingkungan.
“Partisipasi publik penting agar tata kelola tambang tidak hanya menambah pendapatan, tetapi juga menjaga keseimbangan alam dan kesejahteraan masyarakat Aceh,” jelasnya. (*)



