Banda Aceh (Waspada Aceh) – Kasus stunting kian menjadi sorotan dan ancaman serius di Aceh. Provinsi Aceh tertinggi secara nasional untuk kasus stunting anak bawah dua tahun (Baduta) dan peringkat tiga nasional untuk angka stunting anak bawah lima tahun (Balita).
Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah di semua tingkatan birokrasi, kata Wakil Ketua Umum Tim Penggerak PKK Aceh, Dr.Dyah Erti Idawati, Sabtu (2/3/2019), di sela-sela mempersiapkan acara “Deklarasi Gerakan Geunting” yang akan dilaksanakan di Balangpadang, Banda Aceh, Minggu (3/3/2019).
“Tak cukup lagi hanya rencana-rencana. Kita galang kekuatan bersama, kita berikhtiar sungguh-sungguh membebaskan anak Aceh dari ancaman stunting,” tegas Dyah Erti Idawati.
Stunting adalah sebuah kondisi di mana tinggi badan seseorang jauh lebih pendek dibandingkan tinggi badan orang seusianya. Penyebab utama stunting adalah kekurangan gizi kronis sejak bayi dalam kandungan hingga masa awal anak lahir yang biasanya tampak setelah anak berusia 2 tahun.
Isteri Plt Gubernur Aceh itu menyebut, pencegahan stunting menjadi prioritas utama Tim Penggerak PKK. Penanganan secara terintegrasi, lanjutnya, lebih ditekankan untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
“Penanganan tentang gizi dan kesehatan hanya berkontribusi 30 persen, adapun 70 persen penyebab stunting terkait sanitasi, pola pengasuhan, ketersediaan dan keamanan pangan, pendidikan, kemiskinan, dan situasi politik,” jelas Dyah yang juga dosen Unsyiah tersebut.
Lebih lanjut Dyah mengatakan, kini kondisi di Aceh sudah sangat mengkhawatirkan. “Dari sepuluh bayi lahir, nyaris empat bayi mengalami stunting,” ungkapnya.
Masalah bayi yang stunting, lanjutnya, bukan hanya tampak secara fisiknya saja, tapi kecerdasannya menjadi kurang 20 persen dibandingkan anak normal. Bayi stunting, kata Dyah, juga cenderung mudah menderita penyakit degenerative.
”Bagaimana generasi muda kita bisa bersaing di era globalisasi kalau sangat kurang dari kecerdasan. Karena itu, masalah stunting menjadi isu penting di level nasional dan daerah,” tandasnya.
“Saya bersyukur, banyak pihak bersedia memberi komitmen,” katanya. Dia mengapresiasi dukungan penuh yang datang dari 23 kota/kabupaten, semua unsur SKPA serta organisasi terkait seperti Unicef, Kompak, BKMT, TP PKK dan unsur masyarakat lainnya.
Pada 2019, lanjutnya, ada sepuluh kota/kabupaten yang diintervensi untuk pencegahan dan penanganan stunting. “Empat kabupaten dilakukan oleh Unicef, empat kabupaten menjadi lokus stunting dari Dinas Kesehatan dan tiga kabupaten oleh Kompak,” ungkapnya.
Dia juga mengharapkan seluruh masyarakat Aceh turut aktif mencegah stunting. “Deklarasi Gerakan Geunting hanyalah awal dari komitmen secara formal,” katanya.
Namun yang lebih penting, lanjutnya, adalah upaya-upaya yang dilakukan setelah itu.
“Dengan telah ditandatanganinya Peraturan Gubernur tentang Pencegahan dan Penanganan Stunting, diharapkan semua pihak fokus pada kontribusi pencegahan dan penanganan stunting di Aceh,” pintanya.
Secara terpisah Kepala Perwakilan Unicef Aceh, Andi Yoga Tama, mengaku telah melakukan advokasi dan dukungan teknis terkait kebijakan pencegahan dan penanganan malnutrisi atau stunting di Aceh.
Perwakilan badan dunia di Aceh tersebut, juga memberi dukungan teknis pelaksanaan program bantuan sosial tunai untuk anak yang dibiayai pemerintah daerah. “Dukungan monitoring dan supervisi terintegrasi,” jelasnya.
Selain itu, lanjutnya, Unicef juga memberikan dukungan penguatan kapasitas tenaga kesehatan terkait gizi ibu dan anak, sanitasi, pola asuh, imunisasi dan manajemen terpadu balita sakit.
“Kami juga membantu penguatan perencanaan dan penganggaran terpadu yang responsif terhadap pencegahan dan penanganan malnutrisi/stunting di semua tingkatan, termasuk pemanfaatan dana desa,” tutur Andi Yoga Tama. (ria)