Banda Aceh (Waspada Aceh) – Wali Nanggroe Aceh, Tgk. Malik Mahmud Al Haythar, menghadiri Eastern Economic Forum (EEF) ke-10 yang berlangsung di Vladivostok, Federasi Rusia, pada 3–6 September 2025.
Forum ini diadakan setiap tahun di Vladivostok, dengan tujuan untuk mendorong investasi asing di Timur Jauh Rusia. Diselenggarakan sejak 2015 pada bulan September, di Universitas Federal Timur Jauh di Vladivostok, Rusia.
Pada 4 September 2025, Wali Nanggroe berpartisipasi dalam sesi bertajuk “The Greater Eurasian Partnership: New Paradigms for the Continent’s Development” yang membahas paradigma baru integrasi ekonomi di kawasan Eurasia.
Mengawali sambutannya, Wali Nanggroe menyampaikan apresiasi kepada Pemerintah Rusia dan Yayasan Roscongress atas undangan serta sambutan hangat kepada Aceh. Wali Nanggroe juga menyampaikan simpati mendalam kepada masyarakat Semenanjung Kamchatka yang baru-baru ini dilanda gempa bumi dan tsunami pada 30 Juli 2025 lalu.
“Rakyat Aceh turut merasakan duka ini, karena kami juga pernah mengalami tsunami besar tahun 2004. Kami berdiri dalam solidaritas bersama Anda,” kata Wali Nanggroe.
Di hadapan perwakilan lebih dari 70 negara itu, Wali Nanggroe menekankan posisi strategis Aceh sebagai pintu gerbang barat Indonesia yang menghubungkan Samudra Hindia dan Asia-Pasifik. Sejak berabad-abad lalu, Aceh menjadi persimpangan peradaban global yang mempertemukan pedagang, cendekiawan, dan budaya dari Asia, Timur Tengah, hingga Eropa.
“Sebagai bagian dari Indonesia yang damai dan dinamis, Aceh tetap menjadi wilayah dengan potensi besar untuk kerja sama internasional,” kata Wali Nanggroe.
Dalam paparannya, Wali Nanggroe menyampaikan lima sektor utama yang menawarkan peluang investasi.
Di bidang pertanian, Wali Nanggroe menjelaskan bahwa Aceh memiliki lahan subur yang menghasilkan komoditas kelas dunia, terutama Kopi Arabika Gayo, yang diakui secara internasional dan dilindungi oleh Indikasi Geografis. Selain itu, Aceh membudidayakan kakao, kelapa sawit, kelapa, padi, serta beragam buah dan rempah tropis.
Kemudian di sektor peternakan dan perikanan, padang penggembalaan yang luas di Aceh mendukung budidaya sapi dan kambing.
“Garis pantai kami sepanjang 1.600 kilometer dan kekayaan sumber daya laut memberikan potensi besar bagi perikanan dan akuakultur, khususnya tuna, udang, dan rumput laut yang telah menembus pasar internasional,” sebut Wali Nanggroe.
Selanjutnya, Aceh juga memiliki hutan dengan keanekaragaman hayati di dalamnya, terutama ekosistem Leuser, salah satu hutan hujan tropis besar terakhir di Asia Tenggara, yang merupakan suaka bagi spesies langka dan terancam punah seperti gajah, harimau, orangutan, dan badak Sumatra. Ekosistem unik ini menghadirkan peluang berharga untuk konservasi, ekowisata, dan kolaborasi ilmiah.
“Keempat, energi dan sumber daya alam. Aceh dianugerahi cadangan minyak dan gas alam yang signifikan, yang secara historis diwakili oleh Lapangan Gas Arun. Saat ini, Aceh membuka blok-blok baru untuk eksplorasi minyak dan gas sekaligus bergerak menuju energi terbarukan—pembangkit listrik tenaga air, panas bumi, dan tenaga surya. Dengan demikian, sejalan dengan tujuan keberlanjutan global,” papar Wali Nanggroe.
Sektor terakhir yang disampaikan adalah pariwisata dan budaya. Aceh, kata Wali Nanggroe, tidak hanya diberkahi dengan keindahan alam seperti pantai yang masih perawan, terumbu karang, dan pegunungan yang megah, tetapi juga warisan budaya yang kaya.
“Dikenal sebagai Serambi Mekah, Aceh merepresentasikan tradisi Islam yang hidup, seraya menawarkan pengalaman unik seperti Tari Saman yang diakui UNESCO serta tradisi kuliner yang semarak, dari mi Aceh hingga kopi Aceh yang terkenal di dunia,” katanya.
Wali Nanggroe juga menyinggung perjalanan Aceh dari konflik menuju perdamaian. Dua dekade lalu, Aceh keluar dari konflik berkepanjangan melalui perjanjian damai bersejarah yang didukung Pemerintah Indonesia dan komunitas internasional.
“Kini Aceh merengkuh perdamaian, memperkuat tata kelola demokratis, dan membuka pintu kerja sama internasional,” ungkap Wali Nanggroe.
Wali Nanggroe juga menegaskan, pengalaman Aceh dalam membangun perdamaian dan ketangguhan memiliki kesamaan dengan dinamika pembangunan di kawasan Timur Jauh Rusia.
Pada kegiatan itu, Wali Nanggroe turut didampingi Staf Khusus Muhammad Raviq dan Khatibul Wali Abdullah Hasbullah, serta Ema Yanti Pejabat Struktural Khatibul Wali. (*)