Aceh dilaporkan hanya memperoleh “kue” kecil yang hanya cukup untuk membiayai rehab stadion lama dan sejumlah kecil venue.
Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 masih enam bulan lagi, namun hingar bingarnya sudah nyaring terdengar.
Bahkan boleh dibilang mulai memanas. Seperti naik sepeda motor, para kontestasi mulai tanjap gas.
Begitu Partai Nasdem dan PKB mendeklarasikan pasangan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (baca: pasangan Amin), jagat politik nasional menjadi riuh. Banyak sekali komentar berseliweran, apakah itu yang pro mau pun yang kontra terhadap pasangan Capres dan Cawapres ini. Semua media sosial dan media mainstream menempatkan peristiwa ini menjadi berita utama dan viral.
Media ini tidak menempatkan seberapa penting dan besarnya peluang pasangan ini. Dan, bagaimana pula Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, bersama partai pendukung dan pengusung menyikapi itu serta kapan kedua pasangan Capres ini akan mengumumkan siapa Cawapres yang akan mereka gaet dalam Pemilu 2024 mendatang?
Dengan deklarasi pasangan Anies Baswedan- Muhaimin Iskandar, artinya keraguan bahwa Pemilu atau agenda demokrasi lima tahunan, yang tadinya dikhawatirkan tertunda, niscaya akan terlaksana sesuai jadwal yang sudah ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pusat.
Dengan kata lain, masyarakat Indonesia dengan suka cita bisa mengikuti hajatan lima tahunan dan menyampaikan aspirasi sesuai dengan keinginan hati nurani. Siapa calon pemimpin yang akan mereka pilih, apakah itu Pemilu Pilpres, Pemilu legistatif mulai tingkat pusat, provinsi dan kab/kota, mau pun Pemilu untuk anggota DPD RI.
Lalu, bagaimana Pemilu di Aceh?
Meski Aceh sudah memiliki UUPA Nomor 11 tahun 2006 dan agenda Pemilu Kepala Daerah (KDh, seperti gubernur, bupati atau wali kota) dan Pemilu legislatif Provinsi dan Kab/kota, namun, karena adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dilakukan secara serentak pada tahun 2024, mau tak mau agenda lima tahunan di daerah “modal” itu menjadi molor. Mengikuti agenda Pemilu nasional.
Sejatinya, Pilkada Gubernur Aceh dan Bupati/Wali Kota se-Aceh dilaksanakan 7 Juli 2022 (ditandai berakhirnya masa jabatan pasangan Irwandi-Nova atau masa Nova Iriansyah Gubernur Aceh) dan Pilkada bupati/wali kota sesuai jadwal lima tahunan.
Begitulah. Meski, memiliki regulasi bersifat lek spesialis, rupanya Nanggroe Aceh tak berdaya dan harus mengikuti aturan terbaru, hingga menerima Penjabat (Pj) Gubernur dan bupati/wali kota yang ditunjuk oleh rezim Pemerintah Pusat. Ini sejak setahun lalu.
Kini, memasuki periode kedua. KDh, yang pemimpin Aceh, diangkat tanpa melalui suara rakyat. Artinya tanpa keringat dan modal besar. KDh ini memimpin daerah dengan kewenangan serupa layaknya seperti pimpinan hasil Pemilu KDh.
Tapi, ya begitulah. Ibarat nasi sudah menjadi bubur. Agar tidak mengalami perulangan naas politik: jatuh dua kali di lubang yang sama. Rakyat di Tanoh Indatu ini, dalam penghadapi Pemilu yang tersisa enam bulan lagi itu, diminta cerdas menentukan pilihannya. Apakah pada Pilpres dan Pemilu legistatif pada 14 Februari 2024 dan Pilkada gubernur dan bupati/wali kota yang dilaksanakan serentak se-Aceh pada 27 November 2024.
Sekalipun kita berhak menentukan pilihan sesuai dengan hati nurani, namun kita harus bisa pembaca peta politik dan keinginan mayoritas pemilih secara nasional. Dengan begitu, siapa pun Capres yang keluar sebagai pemenang, ia juga akan memikirkan nasib rakyat di daerah. Hingga menghadirkan kemajuan dan kesejahteraan bagi rakyat.
Bukan seperti yang terjadi pada periode belakangan ini. Pasangan Jokowi/Ma’ruf Amin menang Pilpres secara nasional, ternyata kalah telak di Aceh.
Pada Pilpres 2019, Jokowi hanya didukung 16 persen dan 84 persennya suara diberikan ke pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Nah, konsekuensinya, proyek-proyek pembangunan yang bisa mendongkrak kemakmuran rakyat, lebih diutamakan dibangun di provinsi yang mayoritas Jokow-Ma’ruf Amin menang.
Contoh kecil, bisa diambil pelajaran berharga. Perhelatan Pekan Olahraga Nasional (PON) di Pupua pada 2020/2021 lalu, Pemerintah Pusat menggelontorkan puluhan triliun untuk membangun venue-venue dan stadion baru di sana.
Giliran pada PON XXI di Aceh-Sumut, yang akan dilaksanakan medio September 2024, situasinya dapat digambarkan ibarat siang dengan malam. Khusus yang akan diterima Aceh sebagai tuan rumah bersama Provinsi Sumut, sejauh ini kondisinya sungguh memprihatinkan.
Aceh dilaporkan hanya memperoleh “kue” kecil yang hanya cukup untuk membiayai rehab stadion lama dan sejumlah kecil venue yang nilainya pun tidak lebih hanya satu triliun rupiah saja.
Kebijakan diskriminatif yang kurang berpihak ini tentu saja menjadi pelajaran berharga. Anda boleh pilih pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, atau Prabowo yang bisa berpasangan dengan Erik Thohir (Menteri BUMN/Ketum PSSI Pusat) atau mantan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo (PDI-P) yang bisa berpasangan dengan Sandiaga Uno yang disokong oleh PPP atau AHY, Ketum Demokrat, yang sudah keluar dari Koalisi Perubahan yang digagas Nasdem dan PKS.
Yang jelas siapa pun yang akan memimpin Indonesia, jangan lagi melihat Aceh sebelah mata. Sudah banyak jasanya Aceh untuk Indonesia. Kedepan Aceh harus lebih makmur, bermartabat dan rakyatnya sejahtera. Tak ada lagi angka stunting, peta kemiskinan Aceh dapat terapus secara nasional. Dana otonomi khusus harus kembali diberikan untuk Aceh dan pembangunan insprastruktur seperti jalan, jembatan, irigasi serta sarana dan prasarana vital lainnya harus meningkat.
Begitu juga, sektor UMKM bisa tumbuh positif dan lapangan kerja tersedia bagi rakyat Aceh.
Itulah hakekat Pemilu, bila menghasilkan Presiden yang cerdas, kuat, amanah dan bekerja ikhlas, bukan untuk golongannya saja. Juga harus taat azas, taat iman, adil, teladan, menjunjung tinggi supremasi hukum, berwawasan global, diterima semua kalangan, peduli dan berempati kepada rakyat kecil.
Siapa sosok Presiden RI seperti itu? Nah rakyat tentu harus cerdas menentukan pilihannya. Semoga. (*)