“Briket ini bisa jadi produk biofuel, selain mengurangi ketergantungan pada kayu mangrove untuk bahan bakar, juga menambah nilai jual kawasan konservasi di mata pengunjung”
Asap tipis mengepul dari sebuah tungku berbentuk kubah di Mangrove Park Lampulo, Banda Aceh. Terbuat dari tanah liat, tungku itu memancarkan api merah kekuningan. Abu dan sisa arang berserakan di sekitarnya.
Dari sinilah perjalanan propagul mangrove yang gagal tumbuh bermula, sebelum berubah menjadi briket—bahan bakar alternatif ramah lingkungan bagi masyarakat pesisir.
Dari Limbah Jadi Energi
Di area seluas delapan hektare, sekitar 100 ribu batang mangrove tumbuh di Mangrove Park Lampulo. Namun, tidak semua bibit bertahan. Sebagian gugur, mati, atau gagal tumbuh. Propagul yang menumpuk kerap dianggap limbah yang mengganggu regenerasi vegetasi.
Seorang pria tampak mengontrol api di tungku itu. Dia Fikri, Sekretaris Pemuda Peduli Mangrove Kutaraja (Pemangku).
“Propagul ini kita bakar kurang lebih dua hari, lalu didinginkan, baru masuk proses penggilingan,” ujar Fikri, Rabu (1/10/2025).
Alih-alih dibiarkan menumpuk, limbah itu kini bernilai. Kelompok Pemangku bersama akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) menjadikannya sumber energi, yakni memanfaatkannya sebagai bahan baku briket.

“Tujuannya bukan hanya konservasi, tapi juga memberi nilai tambah ekonomi bagi masyarakat,” jelas Dr. Irma Dewiyanti.
Irma adalah dosen Prodi Ilmu Kelautan (FKP) dan Prodi manajemen pengelolaan sumberdaya pesisir terpadu, Universitas Syiah Kuala (USK) yang juga ketua pengabdian kepada masyarakat berbasis produk teknologi tepat guna.
Ia menjelaskan, program ini bermitra dengan kelompok Pemuda Peduli Mangrove Kutaraja. Metodenya mencakup edukasi, pelatihan teknis, hingga pendampingan. Mulai dari pembuatan tungku sederhana, proses pembakaran propagul menjadi arang, penggilingan, hingga pencetakan briket.
“Briket ini bisa jadi produk biofuel, selain mengurangi ketergantungan pada kayu mangrove untuk bahan bakar, juga menambah nilai jual kawasan konservasi di mata pengunjung,” tambahnya.
Dari Abu Jadi Produk
Prosesnya sederhana. Propagul kering dibakar hingga jadi arang, digiling halus, lalu diadoni dengan tepung kanji sebagai perekat dan parafin sebagai pemicu pembakaran.

Pada Sabtu (4/10/2025), puluhan mahasiswa USK dan warga terlihat antusias mencoba alat pencetak briket. Adonan hitam legam keluar dari corong berbentuk silinder, masih lembap dan panas.
“Seru sih, pas lihat briket keluar dari cetakan, rasanya kayak bikin kue tapi versi energi. Wah, ternyata limbah bisa jadi bahan bakar!” ujar salah seorang mahasiswa sambil tersenyum puas.
Irma menambahkan, produksi briket dari propagul mangrove ini bukan sekadar eksperimen, tapi juga membuka peluang usaha baru bagi masyarakat pesisir.
“Jika sudah dikemas, satu pak berisi 10 briket dengan berat sekitar satu kilo perkiraannya bisa dijual Rp20–30 ribu,” jelasnya.
Irma mengatakan, setelah proses pencetakan, sampel briket akan dikeringkan terlebih dahulu sebelum dilakukan uji coba.
“Kami ingin melihat kualitas pembakaran, daya tahan panas, dan seberapa efisien briket dari propagul mangrove ini dibandingkan bahan bakar lain,” ujarnya
Irma juga mengatakan dengan teknologi sederhana, briket dari propagul menjawab dua tantangan sekaligus: mengurangi limbah mangrove dan menghadirkan energi terbarukan.
“Kalau berkelanjutan, ini bisa jadi contoh bagaimana konservasi memberi manfaat langsung pada masyarakat,” tutup Irma. (*)