Banda Aceh (Waspada Aceh) – Pemerintah Pusat berencana memangkas dana transfer ke Aceh hingga 25 persen pada tahun 2025. Kebijakan ini diterapkan di tengah berkurangnya Dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh yang kini hanya menerima 1 persen dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.
Pada 2025, dana Otsus Aceh sebesar Rp4,3 triliun, dan pada 2026 menurun menjadi Rp3,74 triliun. Terhitung 2025, dana Otsus telah berkurang sekitar Rp400 miliar, dan pada 2026 pemotongan diperkirakan mencapai hampir Rp1 triliun. Kondisi ini dinilai memberatkan Aceh yang masih menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Ali Basrah, menilai pemotongan ini harus menjadi momentum bagi Aceh untuk lebih mandiri secara fiskal.
“Selama ini kita terlalu manja karena Otsus selalu ada. Begitu tinggal 1 persen dan sebentar lagi habis, barulah kita mulai serius,” ujarnya ketika menerima audiensi pengurus SMSI Aceh, di Kantor DPRA, Kamis (16/10/2025).
Terkait itu, Ali Basrah mendorong Pemerintah Aceh meningkatkan Pendapatan Asli Aceh (PAA) melalui pajak, retribusi, dan pemanfaatan sektor ekonomi lainnya. Sebagai langkah konkret, DPRA membentuk Panitia Khusus (Pansus) Minerba guna mengawal pengelolaan sumber daya alam agar tidak lagi merugikan daerah.
“SDA kita habis, tapi uang masuk kecil. Karena kita lalai, terlalu bergantung pada transfer pusat,” kata Ali Basrah.
Pansus menemukan potensi kebocoran pajak, termasuk perusahaan yang belum menyetor pajak hingga mencapai Rp45 miliar lebih. Selain itu, hingga 30 September 2025, penerimaan pajak kendaraan bermotor masih minus Rp160 miliar dari target.

Menurut Badan Keuangan Aceh (BKA), kata Ali Basrah, hal ini disebabkan oleh banyaknya kendaraan yang belum membayar pajak serta turunnya pembelian kendaraan baru. Untuk itu, Pemerintah Aceh menyiapkan program pemutihan pajak kendaraan pada November–Desember 2025.
“Kalau berjalan, bisa masuk dua kali lipat, bahkan di atas Rp300 miliar,” ujarnya optimis.
Ali Basrah menilai Aceh memiliki potensi besar di sektor tambang, sawit, dan komoditas lainnya. Dengan kerja serius dan pengawasan yang ketat, PAA/PAD dapat meningkat signifikan.
“Mungkin selama ini ada kebocoran, ini harus kita tutup. Yang belum bayar pajak, kita minta taat. Banyak cara kalau kita mau bekerja,” tegasnya.
Meski begitu, ia mengingatkan bahwa kemandirian fiskal tidak berarti pemerintah pusat lepas tanggung jawab. Pemangkasan dana pusat tetap berpotensi mengganggu pembangunan di daerah.
Desak Pemerintah Pusat Tinjau Ulang
Ali Basrah menegaskan perlunya pemerintah pusat meninjau ulang kebijakan pemangkasan dana transfer ke daerah, termasuk Dana Otsus Aceh. Menurutnya, pengurangan dana dapat menghambat pelaksanaan program pembangunan yang telah direncanakan dalam RPJM kepala daerah.
Ia menjelaskan, sesuai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Dana Otsus diberikan selama 20 tahun (2008–2027): 15 tahun pertama sebesar 2 persen dari DAU nasional, 5 tahun terakhir sebesar 1 persen. Skema ini akan berakhir pada 2027.
“DPRA sudah melakukan tugasnya. Dalam rapat paripurna juga sudah diputuskan delapan pasal direvisi, satu pasal ditambah terkait pajak. Saat ini revisi UU sedang diproses di pusat. Badan Legislasi DPR RI sudah sepakat memasukkannya ke Prolegnas 2026, tinggal menunggu paripurna,” jelasnya.
Politisi Partai Golkar itu berharap revisi UU tersebut disahkan sebelum 2027.
“Harapan kita, bukan hanya prioritas, tapi revisi ini berjalan sehingga Otsus Aceh bisa diperpanjang tanpa batas waktu dengan nilai 2,5 persen dan kewenangan penuh di daerah,” tegasnya. (*)