Selasa, September 23, 2025
spot_img
BerandaEditorialDana Rp8.08 T Bank Aceh Ada Luar Aceh, Siapa yang Diuntungkan?

Dana Rp8.08 T Bank Aceh Ada Luar Aceh, Siapa yang Diuntungkan?

Ini bukan sekadar tentang menjaga bank agar tidak bangkrut, tetapi tentang keberanian untuk menjadi agen perubahan dan pembangunan di Aceh.

Masyarakat Aceh kembali dihadapkan pada sebuah ironi yang dapat mengikis kepercayaan. Di tengah janji-janji pembangunan dan pemberdayaan ekonomi lokal, Bank Aceh, sebagai bank daerah yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian rakyat, justru menjadi sorotan tajam.

Pasalnya, penempatan dana sebesar Rp8,08 triliun di luar Aceh memicu pertanyaan fundamental: untuk kepentingan siapa bank ini beroperasi, dan mengapa kepentingan lokal seolah terabaikan?

Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) telah menyuarakan kegelisahan ini, mendesak manajemen Bank Aceh untuk tunduk pada amanat Qanun Aceh Nomor 11 Tahun 2018 tentang Lembaga Keuangan Syariah (LKS). Qanun ini secara eksplisit mewajibkan bank daerah menyalurkan pembiayaan minimal 40 persen kepada usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).

Namun, Koordinator MaTA, Alfian, dengan tegas menyatakan bahwa kontribusi Bank Aceh terhadap pembangunan ekonomi masyarakat masih sangat lemah. “Selama ini Bank Aceh lebih fokus menjaga agar tidak bangkrut, bukan pada keberanian menyalurkan pembiayaan untuk keberlangsungan pembangunan di Aceh,” ujarnya.

Pernyataan ini bukan sekadar kritik, melainkan cerminan kekecewaan mendalam terhadap institusi yang seharusnya menjadi harapan masyarakat Aceh.

Penempatan dana triliunan rupiah di luar daerah oleh sebuah bank pembangunan daerah (BPD) adalah kebijakan yang kontroversial dan patut dipertanyakan. Secara prinsip, BPD didirikan dengan tujuan utama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi regional, membiayai proyek-proyek pembangunan daerah, dan mendukung sektor-sektor strategis lokal, termasuk UMKM.

Ketika dana sebesar Rp8,08 triliun, yang notabene adalah uang rakyat Aceh, ditempatkan di luar, ini menimbulkan kekhawatiran serius akan terjadinya “capital flight” atau pelarian modal yang seharusnya berputar dan menciptakan efek berganda di Aceh.

Dana sebesar itu, jika disalurkan secara optimal di dalam daerah, berpotensi menggerakkan ribuan UMKM, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan daya beli masyarakat.

Data dari Kementerian Koperasi dan UKM menunjukkan bahwa UMKM menyumbang lebih dari 60% PDB nasional dan menyerap lebih dari 97% tenaga kerja. Di Aceh, sektor UMKM memiliki peran yang jauh lebih krusial, mengingat tantangan ekonomi pasca-konflik dan bencana.

Dukungan permodalan yang kuat dari Bank Aceh dapat menjadi katalisator kebangkitan ekonomi, mengurangi angka kemiskinan, dan memperkuat ketahanan ekonomi lokal. Namun, ketika Bank Aceh justru “menitipkan” dana sebesar itu di luar, seolah-olah peluang emas untuk pembangunan lokal terbuang sia-sia.

Jika dibandingkan, Bank Aceh dengan Bank Syariah Indonesia (BSI) yang, meskipun baru beroperasi di Aceh, telah menunjukkan ekspansi hingga ke desa-desa di Aceh. Ini kontras dengan Bank Aceh yang dinilai stagnan dan kurang berani mengambil terobosan. Perbandingan ini bukan untuk merendahkan, melainkan untuk membangkitkan kesadaran akan urgensi perubahan.

BPD lain di Indonesia, seperti Bank Jatim atau Bank BJB, aktif menggerakkan ekonomi daerahnya melalui berbagai skema pembiayaan inovatif dan kemitraan strategis dengan UMKM. Mereka memahami bahwa keberlanjutan bank daerah sangat bergantung pada kemajuan ekonomi di wilayahnya.

Tentu, Bank Aceh tidak sepenuhnya pasif. Penyataan Direktur Utama Bank Aceh, Fadhil Ilyas, mengenai komitmen dukungan terhadap UMKM dan pemberdayaan ekonomi perempuan prasejahtera, seperti penyaluran pembiayaan Rp50 miliar kepada Koperasi Mitra Dhuafa (KOMIDA) Syariah, patut diapresiasi.

Tapi tentu peran Bank Aceh akan lebih terasa bila dana di luar Aceh yang mencapai Rp8.08 triliun, dapat dikembalikan ke Tanah Rencong. Ini bukan sekadar tentang menjaga bank agar tidak bangkrut, tetapi tentang keberanian untuk menjadi agen perubahan dan pembangunan di Aceh.

Bank Aceh harus berhenti menjadi “ayam petelur” pemegang saham atau sekadar lembaga keuangan yang bermain aman. Ia harus kembali ke khittah-nya sebagai lokomotif ekonomi rakyat Aceh. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER