PETANG itu, Kamis 11 April 2019, penulis beserta sejumlah petinggi PWI Aceh menyempatkan menyambangi kediaman salah satu sohib lama yang sudah tidak satu komunitas lagi.
Ya, sohib yang dulunya jurnalis, kini dalam kurun waktu belasan tahun belakangan sudah beralih menjadi pamong birokrat. Tak tanggung-tanggung, pamong nomor satu di daerah kelahirannya, Kabupaten Aceh Barat Daya. Namun kini dalam kondisi kesehatannya sedikit terganggu.
Rombongan penulis yang tiba saat azan Maghrib tiba, langsung merapat ke mushalla kediaman dinas sang sohib tadi. Langkah, rezeki, pertemuan, maut.
Tampak oleh penulis sosok tak asing, berjalan tanpa ada perubahan sedikitpun dari gayanya berpakaian. Sederhana. Sayang sedikit tampak gontai langkahnya menuju ke tempat ibadah yang letaknya persis di belakang rumah dinasnya (pendopo).
Begitu usai melaksanakan shalat Maghrib, penulis menghampirinya. Tampak sosok sohib yang memang kurang sehat, menyapa sekadarnya. Tapi suasana berubah saat Plt Ketua PWI Aceh Aldin NL dan sesepuh pers Aceh Adnan NS tampak olehnya. Sang sohib pun langsung menyapa penulis.
“Waduh, kamu Rizal. Tadi saya kurang copy. Saat saya lihat Rizal jalan, baru saya copy (ingat),” ujarnya mengawali bincangnya.
Suasana pun mencair. Hanya kali ini agak berbeda dengan performance gayanya. Ya terganggu dengan kesehatannya. Biasanya sang sohib dikenal bahasanya keras dan ceplas ceplos.
“Ya saya baru operasi kelenjar di bawah telinga. Ini sudah mendingan. Sebelumnya saya seperti penderita stroke,” ujarnya.
Saat ditohok bagaimana dia menjalankan aktivitasnya sebagai orang nomor satu di daerah kelahirannya, dengan enteng dan singkat dia berujar, “Ya, hanya kebijakan saja. Tidak ada yang sulit”.
Ucapan enteng itu masuk akal. Gaya kepemimpinannya memang low profile. Selain dikenal dekat dengan kalangan petani dan selalu memprioritaskan kaum papa, beliau saat periode pertama memimpin mampu mengubah infrastruktur tanah kelahirannya.
Tak heran, sosok yang terkenal unik ini–demikian juga dengan perjalanan karirnya–karena sempat pasca periode awal memimpin tersandung kasus hukum (akhirnya divonis bebas), maju kembali atas dorongan rakyatnya juga.
“Elektabilitas saya survei awal oleh sejumlah partai politik 90 persen dan survei akhir keseluruhan sebesar 73 persen. Saya tidak ada beban. Partai pengusung saya aja yang sedikit ‘gila’ memilih saya karena pada saat itu keputusan hukum kasus saya belum keluar dari Mahkamah Agung, ” katanya.
Intinya, kata dia, dana yang dihabiskannya untuk kembali maju ke Pilkada langsung itu hanya senilai Rp20 Juta. “Ya untuk rokok, ngopi dan keperluan keseharian saya selama Pilkada,” ujarnya mengenang.
Pengakuan ini langsung ditimpali oleh Adnan NS. “Mungkin angka ini yang pertama di Indonesia, ” ujarnya.
Ya kalau cerita sosok sohib kami yang satu ini tentu tak berkesudahan. Banyak cerita menarik dan unik tentunya.
Dia adalah Akmal Ibrahim. Putra daerah kebanggaan rakyat Aceh Barat Daya (Abdya). Cepat sembuh sohib, rakyat anda tentu menantikan kebijakan kejutan anda berikutnya. Semoga. (R.Anwar)