Sabtu, Agustus 9, 2025
spot_img
BerandaBP3MI Aceh Minta Desa Jadi Garda Terdepan Lindungi Pekerja Migran

BP3MI Aceh Minta Desa Jadi Garda Terdepan Lindungi Pekerja Migran

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Balai Pelayanan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Aceh mengingatkan bahwa benteng pertama perlindungan pekerja migran ada di tingkat gampong (desa).

Kepala BP3MI Aceh, Siti Rolijah, mengungkapkan bahwa garda terdepan pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) justru ada di tingkat desa. Warga desa disebut sebagai kelompok yang paling rentan direkrut calo untuk bekerja ke luar negeri secara ilegal.

“Biasanya mereka diiming-imingi janji gaji tinggi dan proses cepat. Sasarannya warga desa yang tidak tahu prosedur resmi bekerja ke luar negeri,” kata Siti saat ditemui waspadaaceh.com di Kantor BP3MI di Banda Aceh, Kamis (7/8/2025).

Siti mengatakan perlindungan pekerja migran tidak bisa dilakukan hanya oleh pemerintah pusat atau BP3MI semata, melainkan harus melibatkan semua tingkatan pemerintahan, mulai dari pusat hingga gampong (desa).

Kesadaran akan peran desa ini dikuatkan lewat Surat Edaran Bersama (SEB) yang diteken empat menteri pada 3 Desember 2024 di Jakarta. Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto, serta Menteri Pelindungan Pekerja Migran Indonesia Abdul Kadir Karding menandatangani kesepakatan yang menginstruksikan kepala desa untuk aktif mencegah perdagangan orang dan memastikan warganya berangkat secara legal.

SEB ini menginstruksikan kepala desa untuk aktif mencegah perdagangan orang dan memastikan warganya bekerja ke luar negeri melalui jalur resmi.

“Peran desa itu mulai dari memfasilitasi dokumen, memastikan persetujuan keluarga, mencatat rencana keberangkatan, sampai membantu penanganan masalah di luar negeri. Tapi banyak desa belum punya mekanisme pencatatan ini,” jelas Siti.

Menurut Siti, undang-undang sebenarnya sudah jelas mengatur hal ini. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia menempatkan pemerintah kabupaten/kota dan desa sebagai ujung tombak edukasi, fasilitasi dokumen, dan penanganan kasus. Tetapi di lapangan, BP3MI Aceh menemukan banyak desa yang belum paham tugas tersebut atau terkendala anggaran dan SDM.

“Bahkan ada yang menganggap ini bukan prioritas, kalah penting dibanding pembangunan infrastruktur. Padahal, kalau warganya bermasalah di luar negeri, biaya pemulangannya bisa miliaran rupiah,” ujar Siti.

Kendala lain adalah rendahnya kesadaran masyarakat. Banyak yang berangkat tanpa melapor ke desa. Akibatnya, ketika terjadi masalah, pemerintah desa tidak punya data untuk membantu proses hukum atau klaim asuransi.

BP3MI Aceh terus berupaya memperbaiki kondisi ini. Sosialisasi rutin digelar setiap tahun, dengan fokus ke wilayah kantong pekerja migran dan daerah yang pernah mengalami kasus tinggi, seperti Aceh Utara, Bireuen, Aceh Barat, Aceh Jaya, Aceh Tamiang, Langsa, Pidie, Pidie Jaya, Lhokseumawe, dan Aceh Singkil.

“Masalah pekerja migran itu seperti gunung es. Yang terlihat sedikit, tapi di bawahnya banyak yang ilegal dan tidak terdata,” tegasnya.

Data BP3MI Aceh menunjukkan, sepanjang 2023 tercatat 20 kasus dengan tiga orang terindikasi TPPO. Tahun 2024 meningkat menjadi 39 kasus dengan 10 orang terindikasi TPPO.

Sementara hingga Juli 2025, ada 26 kasus dengan tujuh orang terindikasi TPPO.

Siti berharap pemerintah kabupaten/kota segera menerbitkan aturan turunan yang memberi pedoman jelas bagi desa dalam melaksanakan perlindungan pekerja migran.

Aturan tersebut, katanya, juga perlu mengatur pengalokasian anggaran dari dana desa untuk kegiatan pencegahan, pemberdayaan, dan penanganan kasus pekerja migran.

“Jangan tunggu masalah dulu baru bergerak. Kalau semua pihak menjalankan peran sesuai mandat, banyak masa depan yang bisa kita selamatkan,” ujarnya. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER