Berbagai peninggalan bersejarah, seperti kitab-kitab kuno, keramik, dan guci, hilang tersapu gelombang tsunami.
Bangunan tua itu berdiri kokoh di Peulanggahan, Banda Aceh. Dindingnya putih, berpadu dengan jendela dan atap hijau.
Enam tiang petak menyangga beranda depan, sementara atapnya bertingkat tiga, kian mengecil ke atas. Masjid Teungku di Anjong, begitu warga menyebutnya.
Masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Ia adalah bagian dari sejarah panjang Islam di Aceh, tempat ulama besar mengajarkan ilmu agama, sekaligus titik awal perjalanan calon jemaah haji dari Nusantara ke Tanah Suci.
Hingga kini, masjid ini masih berdiri, meski telah berulang kali mengalami ujian.
Warisan Ulama dari Hadramaut
Masjid Teungku di Anjong dibangun sekitar abad ke-18, ketika Aceh dipimpin Sultan Alaiddin Mahmud Syah (1760-1791). Pendirinya adalah Sayyid Abubakar bin Husein Bafaqih, seorang ulama asal Hadramaut, Yaman.
Dia datang ke Aceh untuk berdakwah dan mendirikan dayah di kawasan Peulanggahan, yang saat itu masih menjadi bagian dari kompleks Kesultanan Aceh.
Dayah ini berkembang pesat. Murid-murid datang dari berbagai wilayah Nusantara hingga Semenanjung Malaya. Sayyid Abubakar kemudian dikenal dengan sebutan Teungku di Anjong.

Rumah yang dia tinggali pun akhirnya berkembang menjadi masjid, yang terus digunakan hingga kini.
“Dulu, sebelum berangkat haji, jemaah dari berbagai daerah singgah di sini untuk belajar tata cara ibadah. Teungku di Anjong sendiri yang mengajarkan mereka,” kata Miftahuddin, Ketua Balai Kemakmuran Masjid (BKM) Teungku di Anjong, saat ditemui, Kamis (13/3/2025).
“Dari sinilah muncul sebutan Aceh sebagai Serambi Mekkah,” lanjutnya.
Teungku di Anjong wafat pada 14 Ramadhan 1100 Hijriah atau sekitar tahun 1782 Masehi. Dia dimakamkan di dalam kompleks masjid, berdampingan dengan istrinya, Syarifah Fatimah Binti Sayid Abdurrahman Al-Aidid. Makamnya masih sering dikunjungi peziarah, baik dari dalam maupun luar negeri.
Masjid ini pernah menjadi saksi perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda. Saat Kesultanan Aceh diserang, masjid ini dijadikan basis pertahanan. Pendidikan Islam di dayah itu terus berjalan hingga sekitar tahun 1980-an, sebelum akhirnya fokus hanya sebagai tempat ibadah.
Namun, ujian terbesar datang pada 26 Desember 2004. Tsunami setinggi 4,5 meter menerjang Banda Aceh, meratakan masjid ini hingga nyaris tak bersisa.
“Masjid kita dulu berbahan kayu, jadi saat tsunami semuanya hanyut. Yang tersisa hanya pondasi dan beberapa tiang,” kata Miftahuddin.
Empat tahun kemudian, masjid ini dibangun kembali dengan bantuan pemerintah melalui Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Struktur kayu digantikan dengan beton, tetapi bentuk arsitekturnya tetap dipertahankan.
Berbagai peninggalan bersejarah, seperti kitab-kitab kuno, keramik, dan guci, hilang tersapu gelombang tsunami. Meski begitu, ajaran dan pemikiran Teungku di Anjong tetap hidup dalam kitab-kitabnya, yang masih menjadi kurikulum di beberapa dayah tradisional Aceh.
Ramadhan dan Tradisi
Kini, Masjid Teungku di Anjong bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga destinasi wisata religi.
Setiap bulan Ramadhan, berbagai kegiatan digelar, seperti qiyamul lail di 10 malam terakhir, tadarus Al-Qur’an, serta perlombaan keislaman.
“Setiap tahun, juga ada kegiatan haul Teungku di Anjong. Banyak ulama dari berbagai daerah dan berbagai negara yang datang,” kata Miftahuddin.
Masjid Teungku di Anjong adalah bukti bahwa sejarah Islam di Aceh tak hanya tersimpan dalam naskah, tetapi masih berdenyut dalam kehidupan sehari-hari. Dari tempat ini, warisan ilmu dan keimanan terus berlanjut, mengalir dari generasi ke generasi. (*)