Banda Aceh (Waspada Aceh) – Badai Tropical Cyclone Senyar yang memicu banjir besar di Aceh tidak hanya merusak ribuan rumah warga, tetapi juga menghantam keras sektor pertanian. Sedikitnya 1.200 hektare lahan padi organik Trisakti Merah Putih dilaporkan gagal panen setelah tersapu banjir dan longsor di sembilan kabupaten/kota.
Lahan yang selama ini menjadi sumber pangan dan pendapatan utama petani Aceh itu kini berubah menjadi hamparan lumpur tebal bercampur kayu dan bebatuan. Sebagian titik bahkan tertutup material hingga dua meter, membuat petani tidak bisa kembali menanam dalam waktu dekat.
Kerugian sementara ditaksir lebih dari Rp 6 miliar, namun jumlah itu diperkirakan terus meningkat karena banyak lahan diprediksi tidak bisa digarap pada musim tanam berikutnya.
Lahan Pangan Strategis Hancur Serentak
Data sementara menunjukkan kerusakan tersebar di hampir seluruh sentra produksi padi organik, meliputi:
• Aceh Tamiang: 350 hektare
• Pidie: 250 hektare
• Pidie Jaya: 15 hektare
• Aceh Utara: 10 hektare
• Aceh Timur: 5 hektare
• Bireuen: 5 hektare
• Aceh Selatan: 5 hektare
• Nagan Raya: 5 hektare
• Aceh Besar: 5 hektare
Semua areal tersebut merupakan sentra padi organik yang selama ini diandalkan dalam program ketahanan pangan daerah.
Ketua Pembina Petani Organik Indonesia, Suryadi Djamil, menyebut bencana kali ini sebagai yang paling memukul petani dalam bertahun-tahun terakhir.
“Kondisi petani sangat terpukul. Rumah rusak, sawah musnah. Mereka menggantungkan hidup dari padi yang kini hilang tersapu banjir,” kata Suryadi, akrab disapa Omm Sur, Kamis (11/12/2025).
Ia menegaskan hilangnya 1.200 hektar padi organik bukan hanya kerugian ekonomi, tetapi kehilangan sumber pangan dalam skala besar.
“Ini bukan angka kecil. Ini hilangnya stok pangan masyarakat. Aceh sedang menghadapi bencana serius,” tegasnya.
Risiko Krisis Pangan di Depan Mata
Musim tanam kali ini awalnya menjadi harapan baru bagi petani untuk memulihkan pendapatan setelah periode kemarau panjang. Namun badai Senyar menghapus seluruh hasil kerja mereka dalam hitungan jam.
“Tidak ada yang bisa diselamatkan. Ini musibah paling berat bagi masyarakat, khususnya petani, dalam beberapa dekade terakhir,” ujar Suryadi.
Kerusakan irigasi, tertutupnya lahan, dan hancurnya jalur produksi membuat proses pemulihan diperkirakan akan berlangsung lama. Jika tidak ada intervensi cepat berupa bantuan benih, perbaikan saluran air, pupuk, dan pendampingan teknis, Aceh berpotensi mengalami penurunan produksi beras pada beberapa musim tanam ke depan. (*)



