Banda Aceh (Waspada Aceh) – Potensi sumber daya alam Aceh yang melimpah, terutama di sektor energi dan pertambangan, terus menarik perhatian investor asing. Namun di tengah geliat investasi tersebut, kesiapan sumber daya manusia (SDM) lokal justru kembali dipertanyakan.
Akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, Dr. A. Rani Usman, menilai bahwa arus masuk modal asing ke Aceh, termasuk dari Timur Tengah dan Tiongkok, tidak diimbangi dengan kebijakan strategis untuk mempersiapkan tenaga kerja lokal yang kompeten.
“Pertambangan kini menjadi ikon pembangunan Aceh. Banyak investor asing dari Timur Tengah dan Tiongkok yang masuk, tetapi ironisnya, kita kekurangan tenaga kerja terampil untuk menyambut peluang tersebut,” ujar A Rani Usman saat diwawancarai, Rabu (22/5/2025).
Menurutnya, Pemerintah Aceh perlu segera melakukan lompatan kebijakan yang berpihak pada pemberdayaan pemuda, khususnya dalam bidang pertambangan, perminyakan, dan sains terapan. Ia menyebut, jika tidak disiapkan sejak dini, posisi strategis dalam proyek-proyek besar di Aceh akan kembali diisi oleh tenaga kerja dari luar daerah, bahkan luar negeri.
“Kalau ada perusahaan seperti Mubadala Energy dari Timur Tengah masuk ke Aceh, maka anak-anak muda kita harus sudah siap. Kalau tidak, SDM dari luar yang akan mengisi posisi strategis itu,” tegasnya.
Rani mengusulkan agar pemerintah tidak hanya fokus pada nilai investasi, tapi juga memetakan minat dan bakat generasi muda Aceh secara sistematis. Salah satu ide terobosannya adalah menyinergikan pendidikan kejuruan dengan pelatihan bahasa asing yang disesuaikan dengan arah pasar tenaga kerja global.
“Anak-anak yang berasal dari kalangan ekonomi rendah harus diberi akses pendidikan yang terarah dan sesuai dengan minat mereka ke sektor energi dan teknologi. Mereka juga perlu dilatih kemampuan bahasa, baik itu Bahasa Inggris, Bahasa Arab, maupun Bahasa Mandarin,” jelasnya.
Jika satu tahun sudha menempuh pendidikan bahasa, empat tahun pelatihan vokasional, dan pada tahun kelima atau keenam, para pemuda tersebut sudah siap masuk ke posisi di sektor strategis, baik di dalam maupun luar negeri.
Ia mengutip pepatah Aceh sebagai refleksi dari kondisi hari ini: “Buya Krueng teu dong-dong, buya tamong meuraseuki.” yang dimaksud (orang luar dapat pekerjaan orang dalam hanya melihat saja).
“Kita balik cara pandangnya: Buya Krueng beu carong-carong, buya tamong meu raseuk. Artinya, kalau SDM lokal siap dengan keterampilan dan teknologi, maka investor cukup membawa modal. Kita jadi tuan rumah yang cakap, bukan hanya penonton,” Ujar pengamat Komunikasi tersebut.
Ia mengingatkan bahwa mengejar angka investasi semata tidak cukup. Pemerintah harus menjawab pertanyaan fundamental: siapa yang akan mengisi ruang-ruang kerja yang tercipta dari investasi tersebut?
“Jika tidak dipersiapkan sekarang, maka anak muda Aceh akan terus menjadi penonton di tanah sendiri,” tuturnya. (*)