Pidie (Waspada Aceh) – Pemerintah meresmikan Memorial Living Park di Gampong Bili Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, Kamis (10/7/2025), sebagai bagian dari upaya penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu.
Taman memorial ini dibangun di lokasi bekas Rumoh Geudong, yang pernah menjadi situs penyiksaan oleh militer selama konflik bersenjata di Aceh.
Peresmian ini merupakan tindak lanjut dari Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2023 tentang penyelesaian non-yudisial pelanggaran HAM berat.
Pemerintah menyatakan komitmennya untuk tidak hanya mengakui peristiwa kelam, tetapi juga menghadirkan ruang publik yang dapat dimanfaatkan untuk edukasi, refleksi, dan pemulihan sosial masyarakat.
“Taman ini adalah ruang hidup. Ia bukan sekadar monumen, tetapi tempat menyimpan ingatan, menumbuhkan dialog, dan memulihkan batin,” ujar Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan (Menko Kumham Imipas), Yusril Ihza Mahendra.
Memorial Living Park merupakan satu dari 12 titik pelanggaran HAM berat yang ditetapkan pemerintah untuk ditindaklanjuti secara non-yudisial. Taman ini dibangun oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat dan rampung pada Mei 2024.
Kawasan taman ini dilengkapi ruang refleksi, tempat ibadah, ruang komunitas, dan panggung seni budaya. Masyarakat diajak terlibat aktif dalam menjaga fungsinya sebagai ruang terbuka publik yang hidup dan relevan bagi generasi kini dan mendatang.
Rumoh Geudong menjadi salah satu simbol kekerasan negara selama masa DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh antara 1989 hingga 1998.
Komnas HAM menyebutkan, ribuan orang mengalami penahanan tanpa proses hukum, penyiksaan, bahkan penghilangan paksa di lokasi tersebut.
Presiden Joko Widodo telah mengakui peristiwa ini sebagai pelanggaran HAM berat pada awal 2023. Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto melanjutkan komitmen tersebut melalui pembangunan taman memorial yang kini diresmikan.
Jangan Ada Perbedaan Korban
Wakil Gubernur Aceh, Fadhlullah (DekFadh), dalam sambutannya menyampaikan apresiasi atas kehadiran negara. Ia juga mengingatkan pentingnya kejelasan mekanisme pengelolaan taman dan kompensasi setara bagi seluruh korban konflik, termasuk mereka yang menjadi korban DOM.
“Kami berterima kasih kepada pemerintah pusat, tetapi kami juga ingin janji presiden ditepati. Jangan bedakan korban. Semua mengalami penderitaan yang sama,” kata Dekfadh.
Ia berharap Memorial Living Park tidak hanya menjadi tempat seremonial, tetapi dapat difungsikan sebagai ruang ibadah, doa bersama, dan aktivitas masyarakat sekitar.
Peresmian taman ini juga dihadiri Wakil Menteri HAM Mugianto Sudin, Wakil Menteri PUPR Diana Esmasuki, perwakilan Komisi III DPR RI, Forkopimda Aceh, serta masyarakat sipil dan keluarga korban.
“Kami tidak ingin taman ini bernasib seperti banyak monumen sejarah lainnya yang ditinggalkan setelah diresmikan, kita harus punya mekanisme partisipatif agar ruang ini tetap hidup.,” katanya.
Pemerintah menyatakan akan menindaklanjuti saran dari Pemprov Aceh untuk melengkapi sarana dan prasarana, serta membentuk sistem pengelolaan yang berkelanjutan.
Edukasi dan Pemulihan
Memorial Living Park diharapkan menjadi ruang edukasi dan pemulihan bagi masyarakat, sekaligus alat untuk memperkuat nilai-nilai HAM secara kultural. Pemerintah mendorong kolaborasi lintas sektor agar taman ini menjadi pusat kegiatan komunitas dan pendidikan hak asasi manusia.
Peresmian Memorial Living Park dimulai dengan tarian Ranup Lampuan, dilanjutkan pembacaan ayat suci Al-Qur’an dan shalawat. Setelah sambutan dari para pejabat, dilakukan penandatanganan prasasti dan serah terima pengelolaan taman ke pemerintah daerah.
Pantauan Waspada Aceh, setelah acara, anak-anak bermain di taman dan warga tampak menikmati suasana. Acara ditutup dengan pembacaan puisi dari keluarga korban dan ramah tamah. (*)



