“Pemerintah sering membuat semacam festival tet apam untuk melestarikan makanan indatu tersebut”
Selasa pagi (14/2/2023) terlihat asap mulai mengepul dari balik tiga periuk tanah (cuprok tanoh) yang berukuran kecil. Cuprok tanoh ini diatur secara berjejer di atas batu bata yang dijadikan sebagai tungku.
Pelepah kelapa beserta daunnya dijadikan sebagai kayu bakar untuk memanaskan periuk tanah yang memiliki ketebalan berbeda dengan kuali ataupun periuk pada umumnya. Ketika periuk tanah sudah mulai panas, secara perlahan adonan cair dari tepung beras yang dicampur santan dituangkan ke dalam periuk yang sebelumnya telah diolesi garam.
“Ta boh sira dile, supaya bek mekumat (kita olesi garam terlebih dahulu supaya nanti adonanya tidak lengket,” kata salah seorang pemangku adat di Aceh Besar, Lina, sambil mempraktikannya kepada tamu yang ikut menyaksikan pembuatan apam.
Saat menuangkan adonan terdengar seseorang memanjaatkan sebait doa, yang bunyinya, Allahumma barik lana fi rajaba wa sya’bana wa balighna Ramadhana. Artinya, ya Allah, berkahilah umur kami di bulan Rajab dan Sya’ban, serta sampaikanlah (umur) kami hingga bulan Ramadhan.
Adonan yang selesai dituangkan, lalu ditutup. Tunggu sekitar dua menit agar apam matang dengan sempurna. Proses ini terus diulang hingga terlihat beberapa apam yang tercetak bulat diletakkan di atas tampah yang diberi alas daun pisang.
Biasanya, apam yang sudah jadi, dimakan dengan kuah tuhe yakni kuah santan yang di dalamnya terdapat potongan pisang raja dan nangka. Selain itu, diberi daun pandan untuk memberikan rasa harum pada kuah.
Sebagaimana yang diketahui, kue tradisional khas Aceh tersebut kini jarang ditemui. Sehingga, pemerintah sering membuat semacam festival tet apam untuk melestarikan makanan indatu tersebut.
Kali ini, Majelis Adat Aceh (MAA) Aceh Besar menggelar tradisi tet apam (memasak serabi) di halaman Gedung Dekranasda Aceh Besar, Selasa (14/2/2023) atau bertepatan pada 23 Rajab 1444 Hijriyah.
Berdasarkan amatan Waspadaaceh.com, sejumlah ibu-ibu dan bapak-bapak tampak antusias menyaksikannya. Siang hari sebelum azan Zuhur menggema, apam selesai dibuat. Piring-piring dan baskom berisi kuah tuhe sudah dihidangkan pada ruangan yang tak jauh dari lokasi tet apam.
Para undangan tampak bergegas menuju meja di mana apam diletakkan. Tamu tersebut tak sabar untuk segera menyantapnya sambil duduk di pondok kecil, sembari menikmati pemandangan persawahan di belakang Kantor Dekranasda Aceh Besar.
Pada kesempatan itu, Ketua MAA Aceh Besar, Asnawi Zainun, mengatakan kegiatan yang bertajuk “Khanduri Apam Meuseuraya” ini merupakan salah satu budaya yang telah lama diwariskan secara turun-menurun dalam masyarakat Aceh pada bulan Rajab. Kegiatan ini juga untuk menyambut bulan suci Ramadhan.
Dalam perspektif orang Aceh, lanjut Asnawi, bulan Rajab adalah buleun peugleh tuboh (bulan menyucikan jiwa). Sedang bulan Sya’ban merupakan buleun peugleh hate (bulan membersihkan hati).
“Bulan Ramadhan ialah bulan beribadah dengan sungguh-sungguh (beribadah dengan semaksimalnya). Tiga bulan ini sangat dimuliakan oleh masyarakat Aceh pada umumnya,” sebutnya.
Asnawi mengatakan, lembaga adat bersama pemerintah dan masyarakat Aceh Besar terus berupaya untuk membuat, menyiarkan serta membudayakan kembali adat dan budaya dalam kehidupan. Tradisi ini dinilai membangkitkan nilai sosial dalam bermasyarakat, seperti nilai kebersamaan, gotong royong dan saling membantu serta berbagi.
“Kenduri apam ini juga sebagai momentum untuk silaturahim antar sesama,” tutup Asnawi. (*)