“Aceh itu toleran. Saya senang bisa memainkan Barongsai meski saya seorang Muslim”
Suara simbal dan gong bergema memecah suasana di Gampong Mulia, Kecamatan Kuta Alam, Banda Aceh.
Di bawah terik mentari, ratusan warga berdesakan di depan Vihara Buddha Sakyamuni, menanti atraksi Barongsai yang menjadi pusat perhatian dalam perayaan Imlek 2576 dengan Shio Ular Kayu itu, Rabu (29/1/2025).
Di tengah kerumunan, Barongsai kuning dengan gerakan lincah menghibur penonton. Boneka naga itu melompat gesit. Salah satu atraksi menarik adalah saat Barongsai “memakan” kepiting mainan dari sebuah kerangka dan memuntahkannya, mengundang gelak tawa warga.
Sorak sorai penonton semakin meriah saat atraksi melempar buah dilakukan. Beberapa warga yang antusias menangkap buah-buahan itu tampak kegirangan, tak peduli panas yang menyengat.
Mereka yang rela berpanas-panasan sejak pukul 10.00 WIB untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Kamera ponsel sibuk mengabadikan momen, menjadikan atraksi Barongsai sebagai magnet budaya di kota berjuluk Serambi Makkah.
“Panas tidak masalah, atraksinya seru sekali. Anak-anak saya juga senang melihatnya,” ujar Sofyan (30), Warga Banda Aceh itu.
Yang menarik perhatian, di tengah suara simbal yang bertalu-talu, tampak seorang gadis Muslim berjilbab sibuk memainkan alat musik.
Dialah Ratih, perempuan kelahiran 1997, yang sudah 12 tahun menjadi atlet Barongsai. Ratih, yang telah berlaga di berbagai turnamen nasional dan internasional, tampak percaya diri dan penuh semangat.
![](https://waspadaaceh.com/wp-content/uploads/2025/01/Screenshot_20250129_135136.jpg)
Ia menjadi bukti nyata bahwa seni budaya lintas etnis dapat menyatu di Aceh, meskipun provinsi ini dikenal dengan penerapan syariat Islam yang ketat.
“Aceh itu toleran. Saya senang bisa memainkan Barongsai meski saya seorang Muslim,” ujar Ratih usai atraksi.
Di antara kerumunan, Refika (30), berasal dari Jakarta ini tampak menggendong bayi sambil menggandeng dua anaknya yang lain. Ini adalah kali pertama ia melihat pertunjukan Barongsai di Aceh.
“Saya ingin anak-anak belajar tentang tradisi Imlek, bahwa Imlek itu kaya sejarah dan budaya. Ini bukan hanya perayaan umat Buddha, tetapi juga milik etnis Tionghoa secara umum,” katanya.
Refika menilai atraksi ini memberikan pelajaran penting bagi anak-anaknya tentang toleransi. “Aceh, sebagai Serambi Makkah, menunjukkan tenggang rasa yang luar biasa terhadap agama dan budaya lain. Meski Aceh mayoritas muslim, kita tetap bisa menghormati dan belajar dari keberagaman,” tambahnya.
Refika, yang sudah sepuluh tahun tinggal di Aceh, merasa kerukunan antarumat beragama di daerah ini sangat nyata. “Atraksi seperti ini mengajarkan anak-anak untuk lebih menghargai perbedaan,” tutupnya.
Setelah atraksi selesai, warga berbondong-bondong mendekat ke Barongsai untuk berfoto bersama. Vihara Buddha Sakyamuni yang menjadi pusat atraksi barongsai menjadi saksi bagaimana keberagaman dirayakan di Aceh. (*)