“Sejak 2017 hingga 2024 sedikitnya sudah Rp332,2 miliar anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan rumah sakit tersebut, namun hingga kini tampak masih terbengkalai”
Rumah Sakit Regional Cut Nyak Dhien di Meulaboh, Aceh Barat, yang diharapkan menjadi andalan pelayanan kesehatan bagi warga Aceh Barat dan sekitarnya, kini tampak terbengkalai.
Terletak di lahan seluas 7,99 hektare di Jalan Kayu Putih, Desa Lapang, Kecamatan Johan Pahlawan, Meulaboh, bangunan megah ini justru memicu kekecewaan mendalam bagi masyarakat di pesisir barat Aceh itu.
Seharusnya pada 2024 ini warga sudah mulai bisa berobat di rumah sakit rujukan tersebut. Namun faktanya bangunan rumah sakit yang sebagian besar berdinding kaca itu tampak tak terawat. Rumput mulai memanjang menutupi sebagian lahan rumah sakit di halaman depan gedung utama.
Di bagian tengah dan belakang gedung, konstruksi terlihat belum rampung. Dindingnya baru sebatas plester, sementara banyak jendela dan pintu yang belum dipasang.
Besi-besi pengikat tiang bangunan tampak berantakan. Bahkan, beberapa plafon sudah mulai rusak dan jatuh, meski bangunan ini belum pernah digunakan.
Ironisnya, lantai gedung yang seharusnya bersih malah dipenuhi kotoran sapi dan kerbau. Warga sekitar memanfaatkan area bawah rumah sakit ini sebagai kandang ternak.
Di depan bangunan, sebuah papan informasi proyek pembangunan masih berdiri. Namun, bedeng pekerja berukuran 8×3 meter yang dulunya menjadi kantor sementara kontraktor, kini tampak kosong. Tak ada aktivitas, tak ada pekerja. Hanya peta rencana dan legenda pembangunan yang tersisa.
Proyek ini dimulai pada 2017 dan merupakan satu dari lima rumah sakit yang dibangun dengan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) serta Anggaran Pendapatan Belanja Kabupaten (APBK). Nyatanya hingga Agustus 2024, progres pembangunannya sangat lambat. Padahal masyarakat sudah lama menanti fasilitas kesehatan ini beroperasi, mengingat rumah sakit umum yang ada sekarang, tak lagi mampu menampung pasien.
Dengan belum berfungsinya rumah sakit regional ini, masalah over kapasitas di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien Meulaboh terus berlanjut. Masyarakat menunggu janji pemerintah untuk menyelesaikan pembangunan rumah sakit yang diharapkan dapat mengatasi kebutuhan layanan kesehatan yang terus meningkat.
“Kasihan masyarakat yang ingin berobat, tetapi kapasitas Rumah Sakit Umum Daerah di Aceh Barat selalu penuh. Mereka terpaksa ke rumah sakit swasta, bahkan ada yang harus ke Banda Aceh,” kata Hasna, wsrga setempat.
“Entah kapan rumah sakit megah itu selesai. Padahal sudah lama dibangun dan miliaran uang sudah dihabiskan. Katanya tahun 2024 sudah beroperasi, tapi sampai sekarang belum jelas,” lanjut Hasna.
Keluhan senada disampaikan oleh Lia Puspita, warga Desa Meureubo. Ia meminta Pemerintah Aceh mempercepat proses pembangunan Rumah Sakit Regional Meulaboh karena fasilitas pelayanan kesehatan sangat dibutuhkan masyarakat di wilayah Barat Selatan Aceh (Barsela).
“Dengan difungsikannya rumah sakit regional tersebut, bisa mengatasi masalah over kapasitas pasien di Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien Meulaboh yang selama ini dikeluhkan,” tuturnya.
Sejak 2017 hingga 2024, proyek pembangunan rumah sakit ini telah menghabiskan dana sebesar Rp332,2 miliar dengan target penyelesaian tahun ini. Namun, proyek ini justru menghadapi berbagai masalah dan menjadi sorotan Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pemerintah Aceh. Dalam laporan tersebut, ditemukan kekurangan volume pekerjaan sebesar Rp 301.245.202,18 (Tiga Ratus Satu Juta Dua Ratus Empat Puluh Lima Ribu Dua Ratus Dua Rupiah Koma Delapan Belas).
Sejak 2017 hingga 2024 sedikitnya sudah Rp332,2 miliar anggaran yang digelontorkan untuk pembangunan rumah sakit tersebut, namun hingga kini tampak masih terbengkalai. Targetnya selesai tahun ini. Alih-alih selesai, malah bermasalah dan menjadi temuan BPK RI (Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia) seperti yang tertuang dalam LHP Pemerintah Aceh. Ada kekurangan volume pekerjaan dengan total sekitar Rp301.2 juta atau tepatnya Rp301.245.202,18.
Teka-teki Keberadaan Perusahaan
Permasalahan juga terjadi pada penentuan pemenang tender proyek pembangunan RS Regional tersebut. Panitia lelang menetapkan PT Polada Mutiara Aceh (PMA) sebagai pemenang lanjutan pembangunan RS Regional Cut Nyak Dhien. Namun, keputusan ini disanggah oleh PT Karya Mukti Bersaudara (KMB) pada 14 Agustus 2023 dengan nomor 07.1.S/PT.KMB/VIII/BA/2023.
Dalam sanggahan tersebut, PT KMB mempertanyakan keaslian pengalaman personel manajer teknik dan ahli K3 yang diajukan PT PMA pada proyek lanjutan pembangunan RS Regional Cut Nyak Dhien Aceh Barat. PT KMB merupakan salah satu perusahaan yang kalah pada tender pembangunan lanjutan RS Regional Cut Nyak Dhien 2023. Sebelumnya, diduga perusahaan ini pernah bergabung dengan PT PMA dalam pembangunan RS Regional Bireuen tahun 2021 sehingga mengetahui banyak tentang perusahaan tersebut.
Tim KJI (Klub Jurnalis Investigasi) Aceh mencoba mencari tahu dasar sanggahan PT KMB terhadap PT PMA dengan mengonfirmasi langsung kepada Direktur PT KMB Abdul Mukti Umar yang juga menjabat Ketua Kadin (Kamar Dagang dan Industri Indonesia) Aceh Utara. Alih-alih mendapat jawaban, malah nomor telepon salah satu anggota Tim KJI Aceh diblokir.
Pada 4 Juni 2024, anggota Tim KJI mencoba menghubungi melalui telepon namun tak diangkat. Tim kemudian mengirim pesan WhatsApp, namun pesan tersebut hanya dibaca saja tanpa ada balasan. Berselang beberapa hari, tepatnya 27 Juni 2024, anggota KJI kembali menghubungi dengan nomor lain, namun lagi-lagi tak diangkat, begitu juga dengan pesan WhatsApp.
Tak menyerah sampai di situ, Tim KJI mencoba menghubungi kembali, namun nomor telepon tim KJI sudah diblokir. Pada 9 Juli 2024, Tim KJI mencoba menghubungi kembali namun lagi-lagi tidak ada respons dari Direktur KMB Abdul Mukti Umar.
Tim KJI Aceh pun mencoba melakukan konfirmasi kepada PT PMA sebagai pihak yang disanggah dengan cara mendatangi alamat kantornya di Jalan Iskandar Muda No 5 Keuramat Dalam, Kabupaten Pidie pada 5 Juli 2024. Namun, tim tidak menemukan kantor itu.
Kemudian anggota tim mencoba mencarinya menggunakan Google Maps dan foto citra satelit, tapi hasilnya lagi-lagi nihil. Tidak ada bangunan yang memiliki plang nama PT Polada Mutiara Aceh (PMA), yang ada hanya ruko dua lantai dengan pintu besi warna hijau bertuliskan pusat promosi kerajinan milik Dekranasda Kabupaten Pidie di alamat tersebut.
Jejak Perusahaan di RS Regional Bireuen
PT PMA bukanlah pemain baru dalam proyek pembangunan rumah sakit regional di Aceh. Perusahaan ini pada 2021 diduga juga mengerjakan proyek RS Regional Bireuen dengan pagu anggaran Rp24,3 miliar.
Sayangnya, proyek miliaran rupiah itu juga diduga meninggalkan banyak masalah, mulai dari molornya waktu pengerjaan hingga tiga bulan, hingga pengerjaannya secara kualitas dianggap tidak sesuai dengan besarnya anggaran yang digelontorkan.
Proyek pembangunan RS tersebut menjadi temuan tim pansus DPRA. Akibat temuan tersebut, pembangunan RS Regional Bireuen berhenti pengerjaannya selama satu tahun. Sembari menunggu hasil evaluasi dan audit tim ahli dari Pemerintah Aceh, proyek ini kembali dilanjutkan pada tahun 2023.
Dari hasil reportase Tim KJI ke lokasi pembangunan RS Regional Bireuen pada 22 Mei 2024 di Gampong Cot Buket, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, ternyata hingga saat ini pembangunannya masih jalan di tempat. Hanya ada penambahan bangunan di atas pondasi yang dikerjakan pada tahun 2022, berupa beton-beton tinggi dengan besi pengikat.
Bangunan berbentuk basement tersebut kini menjadi lokasi lepas liar ternak sapi dan kerbau milik warga. Selain itu, besi-besi pengikat pada pondasi tiang bangunan sudah banyak dipotong oleh orang tidak dikenal, bahkan papan informasi proyek bangunan juga tidak terlihat lagi.
Rumah sakit di Bireuen yang dirancang memiliki daya tampung 500 tempat tidur serta dilengkapi ruangan IGD, ICU, NICU, PICU, kamar operasi, dan poliklinik ini, dibangun pada masa jabatan Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Aceh dr. Hanif pada 2021. Sekarang tahun 2024 Kepala Dinas Kesehatan Aceh dijabat dr. Munawar. Bangunan ini juga seperti proyek bangunan gagal dan mulai dipenuhi semak belukar.
Dari catatan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE), PT PMA pernah mendapat catatan hitam, dengan sanksi blacklist selama satu tahun, yakni 2019-2020, dengan SK penetapan 1284/DJPB/TU210.D3/IV/2019. Kesalahan yang dicatat adalah melanggar peraturan LKPP No 17 Tahun 2018 pasal 3 huruf g, mengenai penyedia yang tidak melaksanakan kontrak, tidak menyelesaikan pekerjaan, atau dilakukan pemutusan kontrak secara sepihak oleh PPK yang disebabkan karena kesalahan penyediaan barang/jasa.
PT PMA telah berdiri sejak 14 Juli 2006, seperti tertera dalam akta pendirian PT PMA No 12 pada 14 Juli 2006. Untuk proyek pengerjaan pembangunan RS Rujukan Regional Cut Nyak Dhien Meulaboh, Aceh Barat, tahun anggaran 2023 dipimpin oleh Muhajir selaku Direktur Cabang PT PMA yang bertanggung jawab untuk pengerjaan pembangunan rumah sakit tersebut.
Namun dalam pengerjaan proyek itu, PT PMA mendapat sanggahan dari perusahaan pesaingnya, yakni PT KMB. Menjelang akhir waktu pengerjaan, pihak KPA (Dinkes Aceh) melakukan pemutusan kontrak kerja karena dianggap tidak bisa menyelesaikan tepat waktu sesuai tanggal yang tertera dalam kontrak, yakni 76 hari kerja hingga batas akhir 23 Desember 2023. Hal ini merujuk pada surat pemberitahuan rencana pemutusan kontrak dengan nomor surat 242/KPA.1/DINKES/2023.
Dalam surat itu disebutkan, sehubungan dengan Surat Perjanjian (Kontrak) Nomor 128/KPA.1/DINKES/2023 Tanggal 10 Oktober 2023 dan perubahannya, pekerjaan lanjutan pembangunan ini memiliki beberapa pertimbangan untuk diberhentikan.
Berdasarkan laporan minggu ke-9, progres pekerjaan baru mencapai 78,78 persen, sehingga masih tersisa 21,22 persen. Pengawas menilai proyek ini berpotensi melewati waktu kontrak yang ditetapkan.
Kemudian hasil penilaian PPK dengan memperhatikan kesediaan waktu masa penyelesaian pekerjaan sesuai ketentuan SSKK dan SPMK tersisa 13 hari kalender. Sedangkan batas akhir hingga Rabu, 27 Desember 2023 juga menjadi salah satu penyebabnya. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perusahaan diyakini tidak akan mampu menyelesaikan seluruh lingkup pekerjaan sesuai pokok perjanjian (SSUK Huruf B.6 Angka 43 dan 44). Itulah alasan pemutusan kontrak.
Akibat pemutusan kontrak oleh Dinas Kesehatan Aceh, PT PMA dikenakan sanksi berupa tidak dicairkannya jaminan pelaksanaan, pelunasan uang muka, serta pencairan jaminan uang muka, dan juga masuk daftar hitam.
Tidak terima dengan keputusan tersebut, Direktur PT PMA, Muhajir, menggugat Pemerintah Aceh melalui Pengadilan Negeri Banda Aceh pada 18 Januari 2024 dengan nomor perkara 3/Pdt.G/2024/PN.Bna, menuntut ganti rugi atas pemutusan kontrak.
Pada sidang pembacaan putusan 4 Juli 2024, Majelis Hakim PN Banda Aceh mengabulkan semua gugatan Muhajir terhadap Pemerintah Aceh (Satuan Kerja Dinas Kesehatan Aceh). Isi putusan mencakup: Mengabulkan seluruh gugatan, menyatakan Tergugat (Dinas Kesehatan) melakukan wanprestasi yang mengakibatkan kerugian bagi Penggugat, mewajibkan Tergugat membayar ganti rugi material sebesar Rp12.888.924.280 dan immaterial Rp25.777.848.560.
Tergugat juga diperintahkan tidak memasukkan Penggugat (PT PMA) dalam daftar hitam dan Tergugat membayar denda Rp5.000.000 setiap hari jika tidak melaksanakan putusan. Tergugat juga diminta membayar biaya perkara. Namun pihak Dinas Kesehatan kemudian mengajukan banding atas putusan PN Banda Aceh itu ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh.
Hakim pada Pengadilan Tinggi Banda Aceh yang diketuai Kamaludin bersama hakim anggota Irwan Efendi dan Akhmad Sahyuti mengabulkan pengajuan banding dari Dinas Kesehatan Aceh. Putusan hakim Pengadilan Tinggi Banda Aceh: ”Menerima Permohonan Banding dari Pembanding semula Tergugat tersebut; Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh Nomor: 3/Pdt.G/2024/PN Bna, tanggal 16 Mei 2024 yang dimohonkan banding”.
Majelis hakim juga mengabulkan eksepsi Pembanding semula Tergugat sebagaimana pada huruf A eksepsinya; 2. Menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini; 3. Menghukum Terbanding semula Penggugat untuk membayar biaya perkara dalam kedua tingkat peradilan, yang dalam tingkat banding ditetapkan sejumlah Rp150.000.
Dari Awal Memang Sudah Bermasalah
Ferdiyus, Sekretaris Dinas Kesehatan Aceh yang tak lain adalah KPA dalam proyek tersebut, membenarkan perihal pemutusan kontrak yang dilakukan pihaknya terhadap PT PMA selaku rekanan hingga adanya gugatan terhadap Dinkes Aceh.
“Masalah sudah muncul sejak awal (pengumuman pemenang tender) karena adanya sanggahan mengenai tenaga teknis. Saat itu, PT Polada sebagai pemenang tidak bisa menghadirkan tenaga teknis sesuai isi kontrak sehingga saya selaku KPA tidak menandatangani kontrak tersebut,” cerita Ferdiyus saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (24/4/2024).
Menjelang batas waktu tahap pengerjaan, pihak rekanan berhasil menghadirkan tenaga teknis sesuai isi kontrak sehingga kontrak yang dipending tersebut kembali ditandatangani oleh Ferdiyus selaku KPA.
Sebelumnya, Ferdiyus menyebutkan bahwa PT PMA disanggah oleh rekanan lainnya, dan pihaknya sebagai SKPA yang bertanggung jawab terhadap pekerjaan itu menyurati BPJ terkait sanggahan tersebut. Namun, setelah dilakukan evaluasi ulang oleh Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ), PT PMA kembali dinyatakan sebagai pemenang.
“Entah apa yang menjadi pertimbangan tim PBJ dalam menetapkan kembali Polada sebagai pemenang, saya juga tidak tahu,” ucap Ferdiyus.
Mantan Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Pengadaan Barang dan Jasa (BPBJ) Sekretariat Daerah Aceh, T. Aznal Zahri yang saat ini menjabat sebagai Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong (DPMG) Aceh yang ditemui di ruang kerjanya pada 18 Juli 2024, menjelaskan, saat itu pihaknya menerima surat sanggahan dari PT KMB melalui Dinas Kesehatan Aceh.
Pihak BPBJ kemudian mengevaluasi dan mengkaji ulang semua berkas pemenang tender serta nilai pagu yang diajukan sesuai isi surat tersebut. Setelahnya memastikan bahwa PT PMA memenuhi syarat. Pihaknya kemudian membalas surat sanggahan tersebut dan meminta penyanggah melakukan sanggah banding jika tidak terima dengan putusan tim Pokja dengan syarat pemenang menyertakan uang jaminan 10 persen dari nilai kontrak.
Uang jaminan akan dikembalikan kepada penyanggah jika tuduhannya terbukti dan tender akan dilakukan ulang. Namun jika tuduhan tidak terbukti, uang jaminan akan masuk ke kas negara.
“Kami membalas surat sanggah tersebut dan memberi batas waktu selama 14 hari untuk mengajukan sanggah banding. Karena tidak ada sanggah banding akhirnya tim Biro Pengadaan Barang dan Jasa menetapkan kembali perusahaan tersebut menjadi pemenangnya,” papar T. Aznal.
Aznal mengatakan, wajar saja jika pekerjaannya tidak selesai tepat waktu karena sisa waktu untuk pengerjaan terlalu sedikit dari masa penandatanganan kontrak. Hanya tersisa 76 hari sehingga rentetan tahapannya terlalu mepet.
“Semestinya, satu paket pekerjaan diselesaikan sesuai dengan jadwal yang sudah ditetapkan. Jangan lagi ada perpanjangan waktu evaluasi,” ucap Aznal lagi.
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, menyebutkan bahwa proses tender di Aceh memang sering kali terlambat. Selalu masuk pada semester kedua Juli – Agustus, hingga menyebabkan beberapa masalah besar yang berdampak pada kualitas proyek tersebut. Apalagi faktor geografis di Aceh yang rentan terhadap bencana alam.
Diperburuk lagi dengan kurangnya perencanaan yang matang dari pemerintah, di mana dokumen penting seperti DID sering kali belum tersedia sebelum pengesahan anggaran dan dimulainya tender, jelas Alfian lagi.
“Jadi jangan heran jika proyek pembangunan di Aceh mengalami kelebihan bayar dan kualitas yang rendah karena RAB yang tidak sesuai dengan anggaran yang telah ditetapkan,” ucap Koordinator MaTA itu, Jumat (30/8/2024).
Alfian juga mengatakan, proses tender sering kali dipengaruhi oleh dinamika politik yang tidak sehat, di mana kepala daerah memiliki kekuasaan yang cenderung digunakan untuk membalas jasa politik melalui pemberian proyek-proyek tertentu.
Selama ini Pemerintah Aceh tidak memiliki standar yang kuat dalam sektor PBJ. Bahkan, Pemerintah Aceh yang berada di bawah penjabat gubernur belum menunjukkan keseriusan dalam memberikan layanan cepat dan menyelesaikan proyek yang telah disepakati oleh DPR sejak awal.
“Tender di akhir tahun berakibat pada kualitas proyek yang rendah dan keterlambatan penyelesaian masih menjadi masalah yang menghambat pembangunan. Hal-hal seperti ini semakin membuka peluang terjadinya korupsi,” tutup Alfian. (*)
-
Tulisan ini merupakan hasil liputan kolaboratif yang dilakukan oleh Cut Nauval Dafistri (Waspadaaceh.com); Fitri Juliana (Digdata.id) dan Mardili (Bithe.co) yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) Aceh.