“Batang bemban disayat memanjang, dan bagian kulitnya yang berwarna hijau menjadi bahan baku anyaman. Keterampilan yang diwariskan secara turun-menurun.”
—————-
Masyarakat Aceh memiliki kebiasaan tersendiri dalam mengelola alam dan lingkungan. Kebiasaan-kebiasaan ini kemudian menjadi sebuah kearifan lokal.
Kearifan lokal yang ada di masyarakat memiliki pengaruh dalam kehidupan ekonomi dan sosial secara turun-temurun. Hal ini menghasilkan karya budaya yang melukiskan bentuk kekhasan atau keunikan dari setiap daerah. Keunikan dari setiap daerah bergantung pada potensi sumberdaya alam dan lingkungan.
Salah satu pengembangan produk ekonomi kreatif adalah pengembangan kerajinan tangan yang dibuat dengan bahan dari sumber alam sekitar. Contohnya produk anyaman yang dikembangkan oleh Bili Droe, berbahan baku tanaman bemban atau bili, yang berasal dari Lampanah, Indrapuri, Kabupaten Aceh Besar.
Pengelola Bili Droe, Ulfa Fitria, mengatakan, menganyam merupakan keterampilan yang diwariskan secara turun-menurun. Sejak 1983 mereka memiliki kelompok anyaman di daerah tersebut.
“Kelompok anyaman Bili Droe sudah ada dari tahun 1983 yang dijalankan pengurus sebelumnya. Sekarang saya dipercaya untuk melanjutkan mengelola kelompok anyaman Bili Droe. Sejak tahun 2018 Hingga sekarang,” tutur Ulfa kepada Waspadaaceh.com, yang mengunjungi lokasi kerajinannya, Kamis (24/6/2021).
Ulfa menjelaskan bili berasal dari bahasa Aceh yang berarti tumbuhan bemban atau bamban (donax canniformis), tumbuhan sejenis terna atau semak. Kata Ulfa, bili ini merupakan tumbuhan rumpun yang tumbuh liar di hutan. Batang tumbuhan tersebut yang digunakan sebagai bahan anyaman.
“Tumbuhan bili ini tumbuh di setiap hutan atau pergunungan, terutama di Indrapuri dan sekitarnya. Batang bemban, disayat memanjang bagian kulitnya yang berwarna hijau dijadikan bahan anyaman,” tutur Ulfa.
Terkait dengan penjualan hasil anyaman, kata Ulfa, selama pandemi ini hasil penjualan tetap stabil. Harganya tergantung ukuran dan model produk, mulai dari harga Rp50.000 hingga Rp650.000/unit.
“Biasanya kami akan memotong batang bili dalam satu bulan dua kali. Tapi bisa juga tiga kali dalam satu bulan. Dan ini tergantung yang order barang juga,” jelasnya.
Bili Droe telah menghasilkan aneka karya unik, atau produk kerajinan dari bahan baku bili. Beberapa jenis produk itu antara lain tutup saji, tas jinjing, dompet, keranjang, tempat jemuran ikan, vas bunga dan lain-lain dengan berbahan dasar pohon bili atau bemban tersebut.
Ulfa mengatakan para pengrajin bili droe juga pernah mendapatkan pelatihan bimbingan teknis dan fasilitasi mesin desain dari Kementerian Perindrustrian di tahun 2020.
Produk ini, kata Ulfa, juga sudah mendapat pembinaan dari pemerintah dalam meningkatkan kualitas, maupun produktivitasnya. Pembinaan oleh Pemerintah Aceh melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Dekranasda Aceh Besar hingga di Dekranas Aceh. Barang-barang kerajinan yang diproduksi Bili Droe, kata Ulfa, juga sudah dipromosikan dan dipasarkan di PT Sarinah Jakarta. Selain itu kelompok pengrajin Bili Droe juga menjadi binaan dan masuk dalam Wirausaha Unggul Bank Indonesia.
“Kami berharap semoga produk yang dihasilkan Bili Droe semakin meningkat, baik dari kualitasnya dan sesuai dengan permintaan pasar. Semoga bisa dipasarkan baik di daerah maupun nasional,” tutur Ulfa Fitria.
Disperindag Dorong Pemanfaatan Alam sebagai Produk Pendukung Pariwisata
Pemerintah Provinsi Aceh melalui Dinas Perindustrian dan Perdagangan Aceh terus mendorong pertumbuhan perekonomian daerah melalui sektor perindustrian dan perdagangan. Sebab sektor tersebut merupakan salah satu bidang yang mampu mengungkit pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan dan pengangguran.
Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Aceh, Mohd Tanwier mengatakan, salah satu sektor pengembangan ekonomi lokal adalah dengan memanfaatkan potensi alam sebagai bahan baku menjadi barang jadi.
“Dalam kondisi hari ini era industri 4.0 serta digitalisasi, para IKM ini harus mampu mengikuti trend dalam meningkatkan kreativitasnya yang inovatif. Industri kerajinan ini juga menjadi pendukung pariwisata, sebagai sovenir bagi para wisatawan,” tutur Mohd Tanwier kepada Waspadaaceh.com, Jumat (25/6/2021).
Kata Mohd Tanwier, penguasaan teknologi digitalisasi merupakan peluang bagi para pengusaha untuk tetap bertahan dengan cara meningkatkan penjualan secara online. Selain itu didukung tampilan menarik melalui pemanfaatan digitalisasi untuk desain produk, foto produk, tutorial produk berupa video, serta perlu juga memperhatikan kelengkapan perizinan dan standarisasi produk.
Selain itu pengembangan sarana dan prasarana serta kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) diharapkan dapat meningkatkan pengembangan ekonomi lokal yang berdampak pada kontribusi pendapatan masyarakat. Mendorong peningkatan kualitas dan pendapatan IKM (industri kecil menengah) serta terbentuknya jaringan kerja kemitraan yang bermuara pada percepatan pemulihan ekonomi.
“Semoga para pengrajin lokal tersebut dapat meningkatkan kualitas produk dan mampu menjaga warisan budaya, agar terus berkembang hingga ke generasi selanjutnya,” kata Kepala Dinas Perindag Aceh tersebut.
Selain itu, kata Kepala Dinas Perindag, industri perlu menjaga kualitas, kuantitas maupun kontiniuitas atau keberlanjutan. Ia berpesan kepada pelaku industri kerajinan agar ketersediaan bahan baku juga perlu diantisipasi jika banyak permintaan.
“Intinya harus dibuat kerjasama, bisa bekerjasama dengan masyarakat dalam menyiapkan bahan baku. Misalnya produk bili, apakah tumbuhan tersebut bisa dibudidayakan. Untuk menjaga kuantitas bahan baku jika banyak permintaan,” ujarnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, Disperindag Aceh sangat mengapresiasi para pengrajin yang secara terus-menerus menekuni bidang kerajinan sehingga produknya mampu bersaing dalam kompetisi global. (Cut Nauval Dafistri)