Banda Aceh (Waspada Aceh) – Angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) angka kekerasan di tahun 2023 mencapai 1098 kasus.
Sementara di tahun 2019, angka kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh berjumlah 1067, tahun 2020 sebanyak 902 kasus, di tahun 2021 sebanyak 924, kemudian di tahun 2022 mencapai 1029 kasus.
Kepada Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kadis DP3A) Aceh, Meutia Juliana, menyebutkan beberapa faktor tingginya angka kekerasan di Aceh. Di antaranya karena rendahnya pendidikan, kurangnya pengetahuan dan keterampilan menghindar dari kekerasan seksual dan pernah menyaksikan kekerasan seksual dan pengguna obat-obatan.
Selain itu kata Meutia Juliana, kebudayaan dan kebiasaan yang mendukung adanya kekerasan seksual, kelemahan hukum, ekonomi dan aturan yang tidak sesuai menjadi faktor tingginya angka kekerasan di Aceh.
“Faktor hubungan juga mempengaruhi tingginya angka kekerasan di Aceh. Seperti kelemahan hubungan antara anak dan orangtua, konflik dalam keluarga, berhubungan dengan orang jahat serta tergabung dalam geng atau komplotan,” kata Meutia dalam Focus Group Discussion (FGD) yang diselenggarakan oleh Koalisi NGO HAM Aceh, di Fhandika Boutique Hotel, Banda Aceh, Selasa (30/4/2024).
Dia menyayangkan, bahwa pelaku kekerasan terhadap perempuan dan anak dari beberapa riset yang dikumpulkan sering kali berasal dari keluarga terdekat, seperti antara anak tiri dan ayah tiri, antara adik tiri dan adik tiri, antara keponakan dan paman, antara cucu dan kakek bahkan anatar ayah kandung dan anak kandung.
Untuk mencegah dan menangani isu kekerasan di Aceh, kata Meutia, pihaknya melalui pendekatan, seperti memberikan dukungan psikologis pada korban kekerasan dan memberikan pendidikan untuk pencegahan kekerasan seksual. Kemudian, menanamkan pendidikan kepada anak sejak dini tentang bentuk-bentuk pelecehan seksual dan dampak dari pelecehan.
Selanjutnya kata Meutia, menyediakan tempat perawatan bagi korban kekerasan seksual dan mengadakan kampanye anti kekerasan di sekolah, menyediakan aturan dan hukuman bagi pelaku serta menyediakan tempat pelaporan bagi korban.
“Stop kekerasan terhadap perempuan dan anak. Jika anda melihat, mendengar dan mengalami hubungi houtline kami 0811-6808-875/UPTD PPA,” tegasnya.
Sementara itu, Direktur Koalisi NGO HAM Aceh, Khairil mengatakan pelibatan partai politik dalam FGD ini untuk melihat bagaimana komitmen partai dalam perlindungan perempuan dan anak di Aceh.
Dia mengakui bahwa angka kekerasan di Aceh terus meningkat. Data yang dihimpun oleh Kualisi NGO HAM ada 1325 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh selama tahun 2023.
Sehingga dengan melibatkan Parpol ini menjadi ruang bagi politisi yang duduk di parlemen, mendukung mereka memiliki pengetahuan dalam konteks melahirkan regulasi yang bisa memberikan dampak serius terhadap penanganan kasus kekerasan.
Kata Khairil, penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Aceh dari DP3A sendiri belum maksimal, salah satunya karena kurangnya anggaran. Sehingga kekurangan ini kiranya menjadi perhatian penting bagi pemangku kebijakan agar generasi masa depan bisa diselamatkan.
“Kita berharap, peserta bisa menjadi peserta aktif karena dia mewakili Parpol, mewakili CSO dan mewakili akademisi sehingga memberikan kontribusi yang masif untuk melahirkan kertas kebijakan yang akan dilahirkan oleh NGO HAM.
Kertas itu nanti akan kita berikan kepada pemangku kebijakan sehingga bisa melahirkan regulasi yang lebih baik ke depan,” tutupnya. (*)