Calang (Waspada Aceh) – Desa Rantoe Sabon Kecamatan Sampoiniet, Aceh Jaya, dicanangkan sebagai salah satu Desa Wisata Nilam, yang didukung penuh oleh Bank Indonesia (BI) untuk membantu pertumbuhan ekonomi petani di desa tersebut.
Lahan percontohan persemaian bibit nilam seluas 3 hektare sedang digarap oleh kelompok Tani “Makmu Beusare” akan menjadi cikal bakal dalam mewujudkan pembangunan Desa Wisata Nilam, yang digagas Pusat Riset Atsiri Unsyiah.
Lahan dikelola oleh 6 orang warga desa tersebut, sebagai tindak lanjut dari kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Aceh Jaya dengan Bank Indonesia, yang sudah melakukan penandatangan nota kesepahaman pada Selasa (8/5/2019) di Aula Sekdakab setempat.
Pada Tahun 1998, minyak nilam Aceh Jaya sempat menjadi jawara dengan kualitas terbaik yang dipasarkan hingga ke pasar dunia. Namun tidak stabilnya harga nilam di Aceh Jaya pada masa itu, membuat para petani beralih membudidayakan komoditi tanaman lainnya.
“Nilam Aceh Jaya kembali berpotensi untuk dikembangkan karena pasar parfum sangat tergantung pada nilam Indonesia, khususnya nilam Aceh Jaya. Apalagi telah memiliki sertifikat Indikasi Geografis.”
“Agar Nilam Aceh kembali terdongkrak dan bernilai tambah, maka ARC (Atsiri Research Center) didukung Dana CSR (Corporate Social Responsibility) Bank Indonesia plus pihak Paris melakukan inovasi dan pendampingan terhadap petani nilam di lokasi Ranto Sabon,” tutur T. Mufizar, Kadis Pertanian dan Perkebunan Aceh Jaya, kepada waspadaaceh.com di ruang kerjanya, Kamis (19/9/2019).
Jika dilihat dari letak geografis, lanjutnya, Aceh Jaya menjadi salah satu daerah yang sangat cocok untuk pengembangan budidaya tanaman nilam di Aceh saat ini. Luas areal tanam saat ini sekitar 572 hektare yang terbagi di enam kecamatan, yaitu Kecamatan Jaya, Sampoiniet, Setia bakti, Krueng Sabee, Panga dan Teunom.
“Saat ini, dinas kita juga sudah melakukan penandatanganan perjanjian kerja sama dengan Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh, tentang Program Pengembangan UMKM Unggulan Komoditi Nilam di Kecamatan Sampoiniet,” paparnya.
Mufizar menerangkan jika perjanjian tersebut berlaku selama 3 tahun dengan tahapan pembekalan dan bimbingan melalui 3 fase, sampai diyakinkan warga sudah memasuki katagori kemadirian untuk mengelola sendiri.
“Tahun pertama masuk fase pertumbuhan selama 1 (satu) tahun, fase perkembangan di tahun ke 2 (dua) dan di tahun ke 3 (tiga) fase kemandirian,” ungkapnya.
Kegiatan ini, tambahnya, juga disambut oleh Wakil Ketua Tim Penggerak PKK Aceh, Dyah Erti Idawati, yang sekarang sudah dinobatkan sebagai Ketua Desa Wisata Nilam dan pada Minggu ( 15/9/2019). Dipandu Syaifullah Muhammad dari Atsiri Research Center (ARC), Dyah Erti Idawati telah mengunjungi lokasi percontohan pembibitan nilam Aceh (pogostemon cablin) dikelola oleh warga Desa Rantoe Sabon.
“Saat itu ibu Dyah menyampaikan, jika untuk melengkapi sisi pemasaran, inovasi desa wisata pun diterapkan dengan menghadirkan Desa Wisata Nilam, salah satu nantinya di Ranto Sabon. Melalui pendekatan wisata, bukan sekedar produk turunan dari nilam yang dijual, melainkan di dalamnya ada cerita, nilai, keyakinan, pengetahuan dan lainnya, seperti nilam untuk menjaga kemudaan,” ungkap Mufizar.
Dyah Erti Idawati juga menyambut gembira antusias warga Ranto Sabon yang ingin bangkit bersama dengan produk nilam. Dia menyakini bahwa Pemerintah Aceh akan mendukung setiap upaya yang dapat berujung pada kemampuan warga keluar dari kemiskinan.
“Jika sudah kembali bangkit agar tidak melupakan program kesehatan dan keagamaan. Untuk apa duit banyak jika uang yang ada habis untuk biaya berobat.”
“Pendekatan yang mendapat dukungan warga juga perlu melalui dana desa dan memungkinkan tumbuh pula pengembangan spot wisata yang ada di Sampoiniet. Seperti Concervation Respon Unit (CRU) dan Pasie Saka,” tutupnya. (Zammil)