Banda Aceh (Waspada Aceh) – Polemik terkait pemasukan 250 ton beras ke Sabang yang disebut ilegal oleh Menteri Pertanian (Mentan) menuai tanggapan tegas dari akademisi.
Akademisi Hukum Universitas Syiah Kuala (USK), Mawardi Ismail, menegaskan bahwa pernyataan Mentan tersebut sangat salah dari aspek hukum. Ia menilai tindakan Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) sudah sesuai prosedur karena wewenang tersebut jelas diatur dalam berbagai perundang-undangan.
Mawardi menjelaskan bahwa secara regulasi, untuk kawasan Sabang tidak dikenal istilah impor. Dalam berbagai perundang-undangan tentang Sabang, digunakan istilah “pemasukan dan pengeluaran barang” dari dan ke kawasan perdagangan bebas.
Penggunaan istilah ini penting karena jika menggunakan istilah “impor ekspor,” maka peraturan terkait impor ekspor akan berlaku.
Dilihat dari sisi regulasi, Mawardi sangat terkejut ketika Menteri Pertanian mengatakan bahwa pemasukan beras itu ilegal. Dia menekankan bahwa kawasan perdagangan bebas tersebut adalah kawasan di luar daerah pabean.
Oleh karena statusnya di luar daerah pabean, kawasan tersebut bebas dari tata niaga. Kewenangan untuk memberikan izin pemasukan barang diatur dalam perundang-undangan dan berada di tangan BPKS.
Ketentuan ini sangat jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang, dan UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, khususnya pada Pasal 167 yang terkait dengan kewenangan khusus untuk Aceh. Kedua pasal ini menjadi dasar hukum bagi pengelolaan dan tata niaga di Sabang.
Mengacu pada regulasi ini, kawasan Sabang ini dipisahkan dari daerah pabean Indonesia dan bertujuan untuk mendorong kegiatan ekonomi.
“Jadi, sayang sekali seorang Menteri Pertanian tidak mengerti aturan,” ujar Mawardi, Selasa (25/11/2025).
Mawardi menambahkan bahwa Mentan tidak pernah menjelaskan secara spesifik aturan mana yang dilanggar ketika ia menyatakan beras tersebut ilegal.
Sementara itu, pihak BPKS dan otoritas di Sabang sudah menjelaskan dasar-dasar regulasi mereka.
Mawardi juga mengkritik pandangan yang seolah-olah mempersoalkan nasionalisme terkait isu ini. Ia mempertanyakan, “Kalau dengan nasional itu mengharuskan rakyat menderita, apa memang seperti itu keinginan Pak Amran?”.
Selain dari sisi regulasi, pemasukan beras 250 ton tersebut juga dapat dilihat dari sisi kebutuhan. Mawardi sepakat bahwa swasembada beras adalah hal yang penting, tetapi ia juga menekankan bahwa jangan gara-gara untuk swasembada beras, rakyat harus sengsara.
Ia menyoroti bahwa Sabang tidak memiliki sawah. Saat ini, beras yang dimasukkan dari daratan dijual dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Situasi ini terjadi di tengah daya beli masyarakat yang sedang menurun.
Karena harga beras yang tinggi, ketika beras impor tersebut masuk, Forkopimda menyambutnya dengan gembira.
“Makanya impor 250 ton itu baik dilihat dari sisi regulasi oke, dari sisi dari sisi kebutuhan juga bisa dianggap untuk menetralisir tingginya harga beras,” jelas Mawardi.
Ia menyimpulkan bahwa tindakan BPKS adalah hal yang tepat, dan kewenangannya sangat jelas. Mawardi menyarankan agar Menteri Pertanian mau belajar tentang Aceh dan regulasi yang mengatur kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas di sana. (*)



