Selasa, Oktober 21, 2025
spot_img
BerandaAcehAkademisi Unimal: Tidak Semua Pelaku Tindak Pidana Harus Dipenjara

Akademisi Unimal: Tidak Semua Pelaku Tindak Pidana Harus Dipenjara

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Akademisi Universitas Malikussaleh (Unimal), Teuku Kemal Fasya menegaskan bahwa penerapan restorative justice (keadilan restoratif) tidak bisa disamaratakan untuk semua jenis perkara.

Menurutnya, konsep ini harus dijalankan dengan mempertimbangkan nilai kemanusiaan dan keadilan substantif, bukan sekadar menyelesaikan perkara secara damai.

“Restorative justice itu ada dua hal. Pertama, tidak semua pelaku tindak pidana ringan harus dipenjara. Kasus seperti ini bisa diselesaikan lewat mufakat (peumat jaroe) atau membayar denda tanpa pemenjaraan,” ujarnya kepada Waspadaaceh.com, Senin (20/10/2025).

Namun, Kemal menilai terdapat gagasan lain yang lebih penting, yakni penerapan pendekatan restoratif pada kejahatan luar biasa yang sulit diselesaikan, seperti pelanggaran HAM berat dan korupsi.

Ia menyoroti penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di Aceh yang dinilai tidak adil karena hanya menjerat pelaku lapangan.

“Yang sering dihukum hanya pelaku di bawah, sementara jenderal atau pemberi instruksi tidak tersentuh,” katanya.

Kemal mencontohkan kasus Tgk Bantakiah, di mana puluhan pelaku hanya dihukum dua tahun, lebih ringan dari pencuri sawit.

“Itu tidak memenuhi rasa keadilan. Kalau itu disebut kelebihan Aceh, itu keliru,” tegasnya.

Menurutnya, rekonsiliasi Aceh selama ini lebih banyak menjadi “broker perdamaian” demi meredam elite, bukan menegakkan keadilan.

Sementara untuk kasus korupsi, Kemal menilai perlu dibedakan antara korupsi kecil dan besar. Korupsi oleh keuchik karena kurang paham administrasi atau minim asistensi masih bisa dipertimbangkan secara humanis. Namun korupsi besar oleh pejabat yang merugikan rakyat harus dihukum tegas.

“Bupati, kepala dinas, gubernur yang korup itu harus diproses. Supaya ada pemulihan dan rasa keadilan di masyarakat,” ujarnya.

Ia juga mengkritik penegakan hukum yang justru menyasar keuchik-keuchik yang tidak mendukung pasangan tertentu saat pilpres. “Itu problem politik, bukan hukum,” katanya.

Kemal menegaskan, hukum harus membela rakyat kecil.

“Kenapa nenek-nenek yang ambil pinang atau getah, sawit, untuk makan malah dipenjara, tapi koruptor dapat keringanan?” ujarnya.

Menurutnya, restorative justice berarti hukum harus tajam ke atas dan tumpul ke bawah.

“Hukum harus mempertimbangkan kemanusiaan. Vox Populi Suprema Lex – keselamatan rakyat adalah hukum tertinggi,” tegasnya.

Ia mendukung penyelesaian damai untuk tindak pidana ringan, seperti pencurian kecil karena lapar atau sengketa waris.

“Itu lebih baik diselesaikan secara musyawarah, bukan langsung ke pengadilan,” katanya.

Kemal menegaskan restorative justice bukan berarti memaafkan pelaku tanpa akuntabilitas.

“Menentukan siapa pelaku kejahatan itu wajib. Kalau hukumannya diringankan atau dimaafkan, itu tidak menghapus fakta bahwa mereka pelaku,” ujarnya.

Baginya, restorative justice adalah penegakan hukum yang humanis, bukan impunitas (pembebasan dari hukuman). (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER