Banda Aceh (Waspada Aceh) – Ketiadaan perempuan dalam susunan anggota Badan Baitul Mal Aceh (BMA) 2025–2030 menuai kritik. Lima anggota yang ditetapkan seluruhnya laki-laki, menegaskan lemahnya komitmen pemerintah terhadap kesetaraan gender di lembaga publik.
Hal itu disampaikan Cut Asmaul Husna, Dosen FISIP Universitas Teuku Umar sekaligus anggota Solidaritas Masyarakat Inong Peduli Aceh, menyusul keluarnya Surat Keputusan (SK) Gubernur Aceh Nomor 800.11.1.9/1340/2025 tentang penetapan keanggotaan Baitul Mal Aceh.
Dalam SK yang ditandatangani Gubernur Aceh Muzakir Manaf pada 6 November 2025 itu, tercantum lima nama anggota, seluruhnya laki-laki: Muhammad Yunus M. Yusuf, Fahmi M. Nasir, Mudawali Ibrahim, S.Ag., M.Pd., Taufik Hidayat HRP, M.Ag., dan Junaidi.
“Kenapa perempuan diabaikan dalam penetapan anggota Baitul Mal, bahkan di lembaga lain di Aceh? Dulu Komisi Informasi Aceh juga tanpa perempuan. Sebenarnya perempuan ini dibutuhkan kapan hanya saat perang, kampanye, atau rumah tangga?” kata Cut Asmaul Husna, Kamis (6/11/2025).
Cut menilai pemerintah seolah menutup mata terhadap kapasitas perempuan Aceh yang banyak berkiprah di perguruan tinggi dan lembaga sosial. Ia menegaskan, perempuan memiliki perspektif berbeda yang dibutuhkan dalam kebijakan publik.
“Kalau terus diabaikan, perempuan akan enggan ikut dalam proses rekrutmen lembaga publik. Padahal, perempuan penting dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan,” ujarnya.
Baitul Mal Aceh merupakan lembaga yang bertugas mengelola zakat, infak, wakaf, dan harta keagamaan lainnya.
Lembaga ini juga berperan dalam pemberdayaan ekonomi umat dan pelaksanaan program sosial berbasis syariat Islam. (*)



