DPRA sebagai representasi rakyat, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk segera menuntaskan tugas Pansus Minerba.
Rakyat Aceh sudah tak sabar menunggu. Tapi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) justru kembali menunda Laporan Panitia Khusus (Pansus) Mineral dan Batu Bara (Minerba) serta Minyak dan Gas, yang krusial bagi tata kelola sumber daya alam di Tanah Rencong.
Padahal tercatat telah tiga kali ditunda tanpa alasan yang jelas selain frasa klise, “karena suatu dan lain hal.” Pertanyaan besar pun menggantung: ada apa sebenarnya di balik tirai penundaan ini?
Mandat Pansus Minerba DPRA sangat jelas: menelusuri tata kelola pertambangan di Aceh, termasuk di antaranya aktivitas PT Mifa Bersaudara. Publik berharap Pansus ini dapat menghasilkan rekomendasi tegas demi keadilan dan keberlanjutan lingkungan.
Ketua DPRA, Zulfadhli, pernah lantang menyatakan rekomendasi Pansus akan “keras,” bahkan mengancam pencabutan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang melenceng. Namun, janji tersebut kini terasa hambar di tengah kebisuan pimpinan DPRA dan penundaan yang tak berkesudahan.
Ironisnya, di satu sisi, Ketua Pansus Minerba, Tgk. Anwar Ramli, mengarahkan pertanyaan jadwal penyampaian laporan kepada pimpinan DPRA. Di sisi lain, anggota Pansus sekaligus Ketua Fraksi NasDem, Nurchalis, dan Wakil Ketua DPRA, Saifuddin, kompak menyatakan bahwa laporan final dan rekomendasi Pansus belum rampung atau bahkan belum dibahas.
Kontradiksi informasi ini menimbulkan keraguan serius terhadap integritas dan efektivitas kerja Pansus. Bagaimana mungkin sebuah laporan yang diharapkan “keras” dan siap diparipurnakan, ternyata masih dalam tahap pembahasan awal? Bahkan itupun belum tuntas?
Kecurigaan publik pun tak terhindarkan. Isu negosiasi di balik layar antara anggota DPRA mulai santer terdengar. Jika benar demikian, ini adalah pengkhianatan terhadap amanah rakyat dan pelecehan terhadap proses legislasi.
Sumber daya alam Aceh adalah milik bersama, dan pengelolaannya harus transparan serta berpihak pada kepentingan masyarakat, bukan segelintir elite atau korporasi. Aktivitas tambang harus berjalan tertib, sesuai aturan, dan memberikan manfaat nyata bagi masyarakat, bukan sekadar seremonial CSR.
Penundaan yang terus-menerus ini tidak hanya menghambat penegakan hukum dan perbaikan tata kelola pertambangan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif. DPRA, sebagai representasi rakyat, memiliki tanggung jawab moral dan konstitusional untuk segera menuntaskan tugas Pansus Minerba.
Bukan untuk tarik-menarik kepentingan sesaat yang pada akhirnya justru berdampak pada enggan dan menjauhnya investor dalam membangun industrinya di Aceh.
Perusahaan semestinya juga mendapat jaminan hukum dan keamanan yang jelas bila sudah memenuhi segala persyaratan yang telah ditetapkan pemerintah agar mereka dapat melaksanakan aktivitasnya dengan nyaman.
Maka hentikan drama penundaan, singkap segala tabir kerahasiaan, dan sampaikan laporan serta rekomendasi yang objektif dan berpihak pada keadilan.
Jangan biarkan pertanyaan “Ada Apa Pansus Minerba DPRA?” terus menjadi misteri yang merugikan rakyat Aceh. (*)