Tiba-tiba saja pada Rabu (22/7/2020), publik di Provinsi Aceh mendapat “berita panas” terkait proyek multiyear Aceh. Tampaknya suhu politik di Tanah Rencong ini memang mulai meninggi.
Pasalnya, Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), meski tidak dengan suara bulat, telah memutuskan membatalkan kontrak proyek multiyear tahun jamak 2020 – 2022. Sidang paripurna ini sendiri diwarnai aksi walk out (keluar) Pimpinan dan Anggota Fraksi Demokrat.
Proyek senilai berkisar Rp2,7 triliun itu, sebenarnya merupakan kesepakatan bersama antara DPRA periode 2014-2019 dengan Pemerintah Aceh, tentang pembangunan jalan dan pengawasan proyek multiyear (tahun jamak) 2020-2022. Kedua belah pihak, eksekutif dan legislatif, berkomitmen dalam penyediaan anggaran APBA selama tiga tahun untuk membiayai 12 proyek infrastruktur yang tersebar di 10 kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Kini timbul banyak pertanyaan. Bila proyek tersebut lahir melalui sebuah komitmen bersama, lantas mengapa DPRA periode saat ini “menganulir” kesepakatan terdahulu? Setelah DPRA membatalkan kesepakatan proyek multiyear ini, bagaimana nasib rakyat di sembilan kabupaten/kota sebagai calon penerima manfaat?
“Kita persoalkan ketentuan, mekanisme dan prosedur yang melahirkan proyek tersebut. Ada mekanisme yang dilanggar. Proyek tersebut adalah penumpang gelap. Tidak ada di RKPA, Kuappas dan Musrembang,” kata Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin, beberapa saat usai memimpin rapat paripurna untuk membatalkan proyek itu.
Terlepas dari kajian lembaga legislatif tersebut, kenyataannya ada banyak masyarakat yang “dikorbankan,” yakni calon penerima manfaat dari proyek infrastruktur tersebut. Rakyat Kabupaten Aceh Tamiang dan Aceh Timur misalnya, termasuk yang bakal menerima manfaat melalui proyek jalan tembus dari proyek multiyear itu.
Wajar kalau Bupati Aceh Tamiang, Mursil, mengungkapkan kekecewaannya. Menurut dia, DPRA telah melampaui kewenangnya, karena telah membatalkan secara sepihak proyek yang salah satunya berada di wilayahnya itu. Yakni proyek jalan yang menghubungkan wilayah hulu Aceh Tamiang dan Aceh Timur.
“Yang membutuhkan jalan itu bukan cuma masyarakat Aceh Tamiang, tapi warga Aceh Timur juga sangat butuh. Karena itu memang jalur utama yang kondisinya hari ini sangat memprihatinkan,” kata Mursil. (aceh.tribunnews.com, 24 Juli 2020)
Selain Aceh Tamiang, ternyata Kabupaten Aceh Singkil juga turut menjadi “korban” pembatalan proyek multiyear tersebut. Bahkan Bupati Aceh Singkil, Dulmusrid, dikabarkan telah menyampaikan masalah itu ke komisi III DPRA.
Kata Ketua DPRK Aceh Singkil, Hasanudin Aritonang, masyarakatnya sangat dirugikan terkait pembatalan proyek multiyears tahun 2020-2022 tersebut. Aceh Singkil termasuk kabupaten yang akan menerima manfaat dari proyek multiyear ini.
Selain itu, ruas jalan Peureulak – Lokop – batas Gayo Luwes, termasuk juga dalam proyek multiyear yang dibatalkan DPRA. Padahal proyek jalan ini sebagai implementasi Pemerintah Aceh untuk membebaskan daerah terisolir dan membangun konektivitas antar daerah pedalaman di Provinsi Aceh.
Melihat kenyataan di atas, tentunya kita bisa bersepakat bahwa proyek infrastruktur, apalagi yang bertujuan untuk membebaskan daerah pedalaman (terisolir) atau untuk membangun konektivitas di Aceh, haruslah terus berlanjut. Bila ternyata memang ada kekurangan, apalagi yang dapat menimbulkan konsekuensi hukum, tentunya hal itu harus segera diperbaiki bersama, tanpa harus mengorbankan kepentingan rakyat banyak.
Kita sama berharap, hendaknya DPRA dan Pemerintah Aceh dapat mengambil “jalan tengah” agar kepentingan masyarakat tetap terjaga dan terpelihara dengan baik. Sebab, meski memiliki perspektif (cara pandang) yang berbeda, tentu kedua lembaga (legislatif dan eksekutif), punya dasar yang sama, yakni ingin menyejahterakan rakyat Aceh, baik yang berada di perkotaan mau pun di pelosok desa. Semoga.