Minggu, Desember 22, 2024
spot_img
BerandaLaporan KhususAcuan Tentang Pola Asuh Anak di Aceh

Acuan Tentang Pola Asuh Anak di Aceh

Jika seorang anak dalam sebuah ujian akademik mendapat nilai kurang bagus, bukan hukuman yang diberikan, namun berkomunikasi apa penyebabnya.

Praktisi Pendidikan Anak, Asnawati, menilai Aceh membutuhkan acuan baku untuk mengatur pola asuh anak yang baik. Acuan tersebut dapat dijadikan rujukan agar dilaksanakan orangtua khususnya di Provinsi Aceh.

Acuan pola asuh yang baik untuk Provinsi Aceh ini nantinya dapat dijadikan rujukan bagi daerah lain apalagi provinsi ini memiliki keistimewaan tersendiri termasuk Undang-undang Khusus Aceh. Hal ini tentunya akan menjadikannya sebagai role model bagaimana pola asuh yang baik.

Bunda Asna sapaan akrabnya, yang memiliki segudang pengalaman dalam pembinaan anak usia dini dan anak dengan berkebutuhan khusus (PAUD/ADBK) ini menuturkan beberapa pola asuh anak yang dapat dijadikan rujukan dan acuan baku. Acuan baku ini perlu ditetapkan agar menjadi sebuah keharusan bagi orangtua menerapkannya secara konsisten kepada anak.

“Sudah saatnya, kita mengubah pola asuh anak. Pola asuh anak ini, berbeda dengan ketika dahulu di jaman kita kecil masih diasuh sama orangtua kita sendiri. Beda jaman, beda pola asuh,” ungkap Bunda Asna yang juga Ketua Yayasan Lina Bireuen ini, Sabtu (2/11/2024).

Bunda Asna yang pernah menjadi Pengurus Bidang Pendidikan Pokja Bunda PAUD Kabupaten Bireuen ini mengungkap beberapa faktor yang perlu menjadi indikator acuan pola asuh anak di Aceh. Indikator ini bisa menjadi rujukan dalam menyusun sebuah rancangan untuk menetapkan Acuan Pola Asuh di Aceh.

ILUSTRASI. Anak-anak berada di sekolah salah satu desa di Kabupaten Aceh Tengah. (Foto/Cut Nauval d).

Beberapa indikator itu antara lain:

1. Memahami Anak Secara Psikologis.
Perlunya memahami anak secara psikologis akan kebutuhannya terutama dalam pola belajar ataupun memahami bagaimana sebuah pelajaran akademik di sekolah. Cara ini dilakukan melalui komunikasi yang baik pada anak dan memahami karakter anak dengan baik kemudian berkonsultasi secara aktif dan langsung ke guru di sekolah.

Contohnya: Jika seorang anak dalam sebuah ujian akademik mendapat nilai kurang bagus, bukan hukuman dari orangtua yang diberikan, namun berkomunikasi dengan anak apa yang menjadi penyebab nilainya kurang bagus. Setelah mengetahui masalahnya, kemudian coba memperbaiki yang menjadi kekurangan si anak dan berkonsultasi dengan guru bersangkutan.

2. Sistem Reward atau Penghargaan Bukan Punishment atau Hukuman.
Tidak lagi menerapkan hukuman pada anak, tapi tingkatkan penghargaan kepada anak. Penghargaan diberikan kepada anak agar memotivasi prestasi. Jadi dengan penghargaan, jika sang anak gagal, akan kembali berusaha menggapai sesuatu dengan reward sederhana, salah satunya membelikan sesuatu yang dia sukai.

Sistem ini akan menjadi motivasi anak, daripada menerapkan sistem punishment akan membuat anak lebih merasa jatuh atau down secara mental jika gagal dalam sesuatu.

3. Membuka dan Meluangkan Waktu Diskusi Secara Personal.
Dewasa ini, banyak kedua orangtua bekerja, sehingga menyebabkan banyak waktu yang tersita. Waktu orangtua lebih banyak dihabiskan untuk bekerja. Hal ini, harus menjadi atensi dan catatan tersendiri sebagai orangtua meski memiliki kesibukan, namun tetap meluangkan waktu minimal 10-15 menit atau lebih untuk diskusi secara personal ke anak mendengarkan curhatan anak baik di sekolah maupun lingkungannya.

Pemerhati Pendidikan Anak, Asnawati, ketika memberikan materi dalam seminar wanita. (Foto/Ist)

Dengan sistem ini, orangtua akan lebih peka terhadap persoalan apa yang dihadapi anak dan dapat mencari solusinya. Termasuk meluangkan waktu khusus untuk liburan maupun sekedar jalan-jalan bersama anak.

4. Peka dan Melek Terhadap Teknologi.
Orangtua juga harus lebih peka dan melek terhadap teknologi. Jangan sampai anak lebih melek teknologi ketimbang orangtua. Apalagi, dewasa ini, penggunaan ponsel atau smartphone sudah secara massif dialami hampir semua anak-anak.

Salah satu contoh kasus yang pernah terjadi adalah ketika anak yang terlibat judi online namun orangtua tidak mengetahuinya. Kemudian praktik bullying atau perundungan di media sosial hingga terjebak dalam konten negatif atau pornografi. Disinilah peran orangtua harus lebih memahami digitalisasi melalui peningkatan literasi tentang teknologi.

5. Menciptakan Kenyamanan di Rumah.
Anak-anak akan merasa betah di rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal atau tidur saja, namun sebagai tempat yang dirasa nyaman. Kenyamanan yang didapat tidak akan dia dapatkan di tempat lain. Pola ini perlu dibangun orangtua melalui berbagai cara salah satunya rutin menciptakan waktu bersama baik untuk makan bersama ataupun bermain dan bercanda bersama.

Orangtua dapat menjadwalkan setiap akhir pekan untuk liburan bersama, masak bersama, makan bersama ataupun melakukan aktifitas bersih-bersih rumah bersama-sama. Hal ini perlu diciptakan agar menumbuhkan rasa kebersamaan dalam bingkai keluarga yang nyaman. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER