Arus deras membawa batang-batang kayu itu menghantam rumah warga tanpa ampun.
Banjir bandang yang melanda Aceh Tamiang pada akhir November 2025 meninggalkan lebih dari sekadar lumpur dan puing bangunan.
Di jantung Kota Kuala Simpang, tumpukan kayu berukuran besar menggunung, menjadi saksi bisu kerusakan hutan di wilayah hulu yang selama ini luput dari pengawasan serius.
Pantauan Waspadaaceh.com, Selasa (30/12/2025), di kawasan Kota Lintang Bawah, kayu-kayu dengan diameter besar berserakan dan menghantam permukiman warga.
Tinggi tumpukan kayunya bisa mencapai sekitar tiga meter dari permukaan tanah, bahkan di sejumlah titik diperkirakan menumpuk hingga empat meter. Material kayu tersebut hanyut dari wilayah hulu sungai menerjang pemukiman menyusul hujan berintensitas tinggi.
Arus deras membawa batang-batang kayu itu menghantam rumah warga tanpa ampun. Sejumlah bangunan rumah rata dengan tanah, hanya menyisakan tapak pondasi.
Beberapa rumah lainnya masih berdiri, namun rusak berat dan tidak lagi layak dihuni. Warga hanya bisa menyelamatkan diri, meninggalkan rumah dan harta benda.
Selain di Kota Lintang Bawah, kayu-kayu gelondongan juga menghantam kawasan Desa Batu Bedulang. Akibatnya rumah-rumah warga di sini rata dengan tanah, hanya menyisakan puing-puing dan tapaknya.

Kayu-kayu gelondongan tampak menggunung di kawasan desa ini. Kini warga setempat tinggal di pengungsian berharap langkah cepat dari pemerintah untuk menjawab tentang masa depan para korban.
Kayu dari Mana?
Bagi pengamat lingkungan Aceh Tamiang, Said Zainal, pemandangan tumpukan kayu pascabanjir bukanlah peristiwa alam biasa.
Koordinator Lembaga Advokasi Hutan Lestari itu menilai, kayu-kayu tersebut merupakan hasil dari aktivitas pembalakan liar dan alih fungsi kawasan hutan yang telah berlangsung lama, termasuk di kawasan konservasi Tenggulun.
“Kalau pengusaha, tentu mereka menampung hasil ini. Bukan hanya yang ada di Sungai Kanan, tetapi juga dari pembalakan liar dan alih fungsi kawasan konservasi di Tenggulun. Semua hasil loading ilegal itu ditampung. Ini tidak bisa dipungkiri. Datanya ada, buktinya ada,” ujar Said kepada Waspasaaceh.com.

Ia menegaskan, skala aktivitas tersebut mustahil tidak diketahui aparat negara atau pemerintah.
“Ini bukan benda kecil. Kilangnya ada, besar. Fasilitasnya lengkap. Lalu lintas aktivitasnya bisa dilihat dengan mata kepala sendiri. Tidak ada yang bisa bilang tidak tahu,” katanya.
Puncak Krisis Ekologi
Said menyebut banjir bandang November 2025 sebagai puncak dari bencana ekologi Aceh Tamiang.
Menurutnya, wilayah ini berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) WS Tamiang–Langsa yang sejak lama dikenal rawan banjir.
“Kalau ditanya apakah Aceh Tamiang ke depan dijamin aman dari banjir bandang? Berdasarkan data, tidak terjamin,” ujarnya.
Ia menjelaskan, ancaman banjir bandang akan terus membayangi jika curah hujan tinggi dan merata terjadi di Aceh Tamiang, Aceh Timur, hingga kawasan Sikundur Blok Tenggulun yang berbatasan dengan Langkat, ditambah durasi hujan yang panjang dan cuaca ekstrem.
“Cuaca memang pemicu. Tapi ini akumulasi perbuatan manusia akibat kebijakan yang salah selama bertahun-tahun,” tegasnya.
Izin, Sawit, dan Dalih “Terlajur”
Dalam pandangan Said, salah satu akar persoalan adalah maraknya izin pemanfaatan kawasan hutan, baik melalui skema HGU, perhutanan sosial, hutan kemasyarakatan, hingga HTR.

Di Aceh Tamiang saja, luas kawasan dengan izin semacam itu mencapai lebih dari 5.000 hektare, sebagian terbit sejak 2015.
“Sering sekali dipakai alasan ‘terlanjur’. Terlanjur jadi kebun sawit, terlanjur dibangun. Padahal seharusnya tidak ada kata terlanjur,” ujarnya.
Menurutnya, kawasan yang sudah terlanjur berubah fungsi seharusnya diambil alih negara, ditata ulang, ditetapkan sebagai kawasan restorasi, dan dihutankan kembali, sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2024.
“Kalau pembenaran atas jutaan hektare sawit dari kawasan hutan ini dibiarkan, itu jahat. Jahat terhadap alam dan jahat terhadap lingkungan,” katanya.
Aceh Tamiang Lumpuh
Dampak banjir bandang tak hanya dirasakan warga di bantaran sungai. Dalam rapat koordinasi Satuan Tugas Pemulihan Pascabencana Sumatera yang digelar DPR RI di Aceh, Selasa (30/12/2025), Bupati Aceh Tamiang Armia Fahmi mengungkapkan hampir seluruh wilayah kabupaten lumpuh.
“Dua belas kecamatan dengan 216 desa semuanya terimbas. Pemerintahan, TNI-Polri, dan perekonomian lumpuh,” ujar Armia.
Meski demikian, ia menyatakan Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang terus berupaya bangkit dengan dukungan berbagai pihak selama satu bulan terakhir.
Alarm dari Hulu
Tumpukan kayu yang kini menggunung di beberapa desa menjadi alarm keras bagi Aceh Tamiang. Ia bukan sekadar sisa bencana, melainkan penanda rusaknya bentang alam di wilayah hulu.
“Ini bukan sekadar banjir karena hujan. Ini bencana ekologi,” kata Said.
Jika hutan terus ditebang dan kawasan resapan terus dialihfungsikan, Aceh Tamiang hanya tinggal menunggu waktu sebelum bencana serupa kembali terulang dengan dampak yang mungkin lebih besar dan korban yang lebih banyak. (*)



