Banda Aceh (Waspada Aceh) – Bank Indonesia menggelar Aceh Economic Forum di Balee Meuseuraya Aceh, Banda Aceh, Jumat (26/9/2025).
Forum ini mengangkat tema Strategi Peningkatan Ekonomi Syariah melalui Pengembangan Hilirisasi Produk UMKM yang Kompetitif dan Menjadi Bagian dari Global Halal Value Chain.
Acara dibuka dengan sambutan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh Agus Chusaini sebelum dilanjutkan sesi pemaparan narasumber utama Indra Akbar Dilana, Yuliana, Riswandi, dan Syaifullah Muhammad.
Forum ini juga menyoroti kredit industri padat karya (KIPK) yang sasarannya adalah skema pembiayaan untuk kredit investasi atau kredit modal kerja, dengan memperhatikan analisa calon penerima.
BERITA TERKAIT:
BI Aceh Gandeng UMKM dan Komunitas di Meuseuraya Festival 2025
Skema KIPK ini dapat digunakan untuk pembelian mesin dan/atau peralatan produksi baru, pembelian ulang mesin atau peralatan yang tidak lebih dari dua tahun, dan mendukung penguatan industri padat karya di Aceh.
Pembina Industri Ahli Madya Kementerian Perindustrian Indra Akbar Dilana menekankan pentingnya kestabilan produk melalui sertifikasi.
Ia menyampaikan bahwa produk berbasis sumber daya alam Aceh siap bermitra dengan Bank Indonesia dan pelaku-pelaku dinas terkait di provinsi ini.
“Sertifikasi menjadi salah satu kestabilan dalam produk, dan produk berbasis Sumber Daya Alam (SDA) siap bermitra dengan Bank Indonesia serta pelaku dinas yang ada di Aceh,” ujarnya.
Sementara itu, Founder Capli Yuliana membagikan pengalaman mengatasi permasalahan petani cabai rawit hijau di dataran tinggi Gayo Lues.
BERITA:
Agus Chusaini Resmi Jabat Kepala BI Aceh
Pada akhir 2017, Yuliana bertemu petani yang mengeluhkan harga cabai yang selalu anjlok saat panen, hanya Rp5.000-Rp7.000 per kilogram, akibat permainan di tingkat tengkulak.
Banyak petani membiarkan cabai mengering dan batang rusak karena biaya produksi tidak seimbang dengan harga jual.
Selain itu, sebagian besar sambal dalam kemasan menggunakan pengawet, pewarna, dan penyedap buatan yang berdampak negatif bagi kesehatan.
Untuk memberikan solusi, Capli memproduksi sambal rawit hijau yang terbuat dari 60 persen cabai rawit asli Provinsi Aceh dicampur dengan asam sunti bumbu fermentasi dari belimbing wuluh sebagai pengental alami. Produk ini dibuat 99,8 persen dari bahan alami.
Yuliana menjelaskan dampak sosialnya sambal ini memenuhi kebutuhan pecinta sambal dengan cita rasa khas Aceh, membantu perekonomian petani melalui harga yang konsisten saat panen raya, sekaligus mendukung ketahanan pangan desa setempat.
“Kejelasan pasar dan angka adalah hal yang selalu dipikirkan petani, dan rencana kami pada tahun 2026 yaitu menargetkan pengembangan produk intermediate berupa cabai bubuk,” ujar Yuliana.
BERITA LAINNYA:
Prof Mukhlis Yunus: Bank Aceh Diminta Reformulasi Kebijakan, Fokus ke Sektor Riil Produktif
Perwakilan Koperasi Produsen Baitul Qiradh Baburrayyan (KBQB) Riswandi, menjelaskan bahwa koperasi yang berdiri sejak 2002 di Takengon ini telah memiliki lebih dari 6.000 anggota.
KBQB mengelola usaha kopi berkelanjutan dengan berbagai sertifikasi internasional, termasuk Organic, Fairtrade, dan Cafe Practices, sehingga menjadi salah satu pelopor ekspor kopi Gayo ke pasar dunia.
“Negara tujuan ekspor saat ini adalah Amerika Serikat, Australia, Kanada, Malaysia, Belanda, Mesir, dan saat ini sedang dalam proses memasukkan Cina ke daftar tujuan ekspor, dan sejauh ini pembeli utama produksi kopi kami adalah Starbucks,” jelasnya.
Di sisi inovasi berbasis riset, Ketua Atsiri Research Center Universitas Syiah Kuala Syaifullah Muhammad memaparkan potensi nilam Aceh.
Minyak nilam, yang dulunya dikelola perusahaan Belanda Naederlandsch Indische Landbouw Atjeh Maatschappij, saat ini mampu menghasilkan 12?15 ribu tanaman per hektare dengan potensi 200 kilogram minyak per hektare, yang memiliki potensi signifikan untuk menekan angka kemiskinan masyarakat.
BACA JUGA
Aceh Selatan Pamerkan Produk Olahan Pala dan Nilam di PKA ke- 8
Aceh untuk saat ini telah mengurus sertifikasi fair for life (FFL) untuk memperluas pasar ke Eropa. Ia menambahkan bahwa ekspor nilam dari Banda Aceh pernah mencatat sejarah ketika Rektor USK dan Wali Kota Banda Aceh melepas ekspor melalui Garuda Indonesia langsung ke Paris, menjadi penerbangan nonstop pertama dari Aceh ke Prancis belum lama ini.
Forum ini menegaskan bahwa pengembangan hilirisasi UMKM Aceh berbasis ekonomi syariah harus dibarengi inovasi, akses pembiayaan, dan kemitraan strategis agar produk lokal tidak hanya menjadi bahan baku, tetapi memiliki nilai tambah tinggi dan siap bersaing di pasar global.
Para narasumber berharap langkah ini dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan pelaku UMKM sekaligus menempatkan Aceh sebagai bagian aktif dari Global Halal Value Chain. (Nisrin)