Kamis, Desember 12, 2024
spot_img
BerandaAceh Darurat Kekerasan Seksual, Puluhan Emak-emak Demo Kantor DPRA

Aceh Darurat Kekerasan Seksual, Puluhan Emak-emak Demo Kantor DPRA

Banda Aceh (Waspada Aceh) – Puluhan ibu-ibu yang tergabung dalam Gerakan Ibu Mencari Keadilan menggelar aksi damai di depan Gedung DPRA di Banda Aceh, Kamis (23/12/2021), terkait kasus kekerasan di Aceh.

Gerakan tersebut diinisiasi oleh para perempuan Aceh yang peduli terhadap perlindungan perempuan dan anak di Aceh, seperti Koalisi Inklusi Demres, Flower Aceh, Aliansi Inong Aceh dan 35 komunitas lainnya.

Koordinator lapangan aksi, Destika Gilang Lestari, mengatakan, saat ini Aceh⁩ dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Kata dia, setiap harinya ada satu anak atau perempuan yang diperkosa dan dilecehkan.

Bedasarkan publikasi data dari Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Aceh, sebut Destika, mencatat kasus kekerasan seksual di Aceh terhadap perempuan mulai Januari-September 2021 mencapai 697 kasus. Selain itu masih banyak kasus kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat yang tidak dilaporkan kepada aparat penegak hukum dengan alasan aib keluarga.

Selain itu hal yang paling disesalkan dan kecewakan lagi, ucap Destika, beberapa keputusan Mahkamah Syariah provinsi yang memutuskan pelaku bebas dari jeratan hukum. Hal itu, lanjutnya, tentunya mencoreng rasa kepercayaan masyarakat kepada lembaga peradilan tersebut.

“Kasus pemerkosaan terhadap anak yang baru saja terjadi di Nagan Raya adalah sebuah contoh nyata bahwa kegagalan Pemerintahan Aceh dalam memberikan perlindungan dan rasa aman bagi perempuan dan anak di Aceh,” tegasnya.

Gerakan ibu mencari keadilan ini meminta kepada Pemerintah Aceh dan DPRA untuk mencabut dua pasal jarimah pemerkosaan dan jarimah pelecehan seksual dari qanun hukum jinayah karena tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban.

Aksi ini juga menuntut Pemerintah Aceh dan DPRA wajib memberikan perlindungan dan pemulihan bagi korban sesuai dengan amanat UUPA pasal 231 tentang tanggung jawab pemerintah dalam perlindungan perempuan dan anak di Aceh.

Pemerintah Aceh harus membuat mekanisme perlindungan terpadu dari gampong sampai provinsi dalam pencegahan kekerasan seksual di Aceh, serta meminta Pemerintah Aceh dan DPRA mengalokasikan anggaran untuk penanganan kasus-kasus kekerasan seksual dan pemulihan bagi korban kekerasan di Aceh.

“Terakhir, kami meminta Komisi Yudisial dan Bamus Mahkamah Agung untuk mengevaluasi aparat penegak hukum yang berulang kali membebaskan pelaku kekerasan seksual,” tutupnya.

Sementara itu Wakil Ketua DPRA, Hendra Budian, dan anggota DPRA, Darwati A Gani, menyambut hangat dan mendukung serta menampung semua aspirasi yang disampaikan pengunjuk rasa.

“Kondisi Aceh saat ini terlalu banyak kasus kekerasan perempuan dan anak. Seperti yang baru saja terjadi di Nagan Raya. Nah kita sepakat dan kita sambut aspirasi koalisi perempuan yang ada di Aceh untuk keadilan,” ucap Hendra.

Menanggapi tuntutan itu, Hendra menyampaikan bahwa pihaknya sudah memasukkan revisi qanun jinayah di dalam prolega prioritas tahun 2022. Dia juga sepakat anggaran untuk Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak harus ditingkatkan.

“Menyangkut situasi Aceh yang tidak menentu ini, seperti kondisi kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak, maka kami akan menyampaikan surat untuk meminta Gubernur Aceh menyatakan kondisi Aceh sebagai darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak,” tutupnya. (Kia Rukiah)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER