Minggu, Oktober 12, 2025
spot_img
BerandaOpiniAceh dan Amanat Perdamaian 20 Tahun: Belajar dari Forum ICAIOS

Aceh dan Amanat Perdamaian 20 Tahun: Belajar dari Forum ICAIOS

Tidak ada pihak yang sepenuhnya menang dalam perjanjian Helsinki, tetapi semua mendapat ruang bermartabat untuk melanjutkan kehidupan bersama”

Oleh Nisrin

Konferensi ICAIOS ke-10 dengan tema Post Conflict Development in Asia: Reflections, Resilience, and Future Pathways berlangsung di Banda Aceh pada 15–16 Agustus 2025. Momen ini terasa istimewa, karena bertepatan dengan dua dekade damai Aceh pasca penandatanganan MoU Helsinki.

Selama dua hari, akademisi, praktisi, dan aktivis dari berbagai negara mendiskusikan capaian sekaligus tantangan perdamaian.

Bagi saya yang terlibat sebagai panitia sekaligus pembawa acara, forum ini menjadi ruang refleksi penting tentang bagaimana perdamaian dipahami lintas generasi.

Luka yang Tak Kasat Mata

Prof. Byron Good, antropolog medis dari Harvard University yang telah lama meneliti kesehatan mental masyarakat Aceh mengingatkan bahwa warisan konflik tidak hanya tercermin pada reruntuhan fisik, tetapi juga pada luka psikologis.

Ia bercerita tentang pengalamannya mendampingi tim kesehatan di Aceh tahun 2006. Seorang lelaki yang disiksa dan dituduh mata-mata baru berani bercerita kepada dokter, lalu membuka jalan bagi warga lain untuk turut mengungkapkan trauma mereka.

Dari situ terlihat, penyembuhan bukan hanya soal obat, tetapi juga ruang untuk didengar.

Keterbatasan tenaga profesional kala itu hanya dua psikolog di Aceh berangsur membaik hingga kini mencapai puluhan orang. Namun pesan Prof. Byron tetap relevan: penyembuhan sejati hanya mungkin terjadi bila ada keadilan. Healing comes with justice.

Dari aspek politik, Jacques Bertrand seorang pakar politik Asia Tenggara dari University of Toronto menyebut peran eks-komandan GAM dalam memastikan transisi damai berjalan relatif tertib. Struktur kepemimpinan mereka membuat proses demobilisasi hingga masuk ke ranah politik lebih teratur.

Sementara itu, Patrick Burgess, pendiri Asia Justice and Rights (AJAR), memberi catatan kuat: Aceh adalah contoh langka di mana sebuah daerah, bukan negara, berhasil menyelesaikan konflik bersenjata lewat kesepakatan yang diakui dunia.

“Tidak ada pihak yang sepenuhnya menang dalam perjanjian Helsinki, tetapi semua pihak mendapat ruang bermartabat untuk melanjutkan kehidupan bersama,” tegasnya. Bagi Burgess, itulah yang membuat Aceh layak dipelajari oleh kawasan lain, termasuk Myanmar.

Prof. Michael Feener, direktur Maritime Asia Heritage Survey, menambahkan perspektif sejarah. Ia menampilkan catatan pelaut Salem abad ke-17 yang menggambarkan keramahan orang Aceh terhadap pendatang. Sebuah pengingat bahwa Aceh tidak hanya dikenal karena konflik, tetapi juga keterbukaannya dalam jejaring global sejak berabad-abad lalu.

Saya sendiri berkesempatan menghadiri panel AJAR bertajuk Women, Peace, and Security in Southeast Asia. Peneliti dari Myanmar, Thailand, Aceh, dan Timor-Leste menekankan pentingnya peran perempuan dan anak muda dalam menjaga perdamaian.

Mereka percaya, damai tidak bisa hanya dijaga oleh elite politik, melainkan harus diwariskan melalui gerakan masyarakat sipil, pendidikan, dan komunitas lokal.

Warisan dan Tanggung Jawab Generasi Muda

Dari forum ini, saya belajar satu hal: keberlanjutan damai tidak cukup ditopang analisis akademik atau kebijakan elite, tetapi juga oleh generasi muda Aceh sendiri.

Kehadiran mahasiswa sebagai peserta dan panitia bukan sekadar pelengkap, melainkan penanda bahwa damai mulai dirawat secara nyata.

Najmul, salah seorang panitia, mengatakan menjadi volunteer di ICAIOS X memberi kebanggaan tersendiri. “Setelah konflik dan tsunami, siapa sangka Aceh bisa kembali menghadirkan peneliti dunia? Bagi saya, inilah alasan saya mau terlibat: menunjukkan bahwa generasi muda siap memberi energi dan kontribusi nyata bagi Aceh,” tuturnya.

Bagi saya pribadi, ICAIOS X adalah pengingat bahwa damai Aceh bukan sekadar dokumen di meja perundingan, melainkan proses yang harus terus dijaga bersama. Dua puluh tahun perjalanan damai membuktikan ketangguhan masyarakat Aceh.

Namun keberlanjutannya hanya mungkin terjamin bila generasi muda melihat damai bukan sekadar warisan, tetapi juga amanat dan tanggung jawab. (*)

  • Penulis adalah volunteer ICAIOS yang juga Alumni UIN Ar-Raniry Banda Aceh
BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER