GAYO akan memiliki penghasil listrik mencapai 88 Megawat (MW). Dijadwalkan pada tahun 2021, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) yang berinduk di Kecamatan Silih Nara, Aceh Tengah, akan beroperasi.
Aceh selama ini mengalami kekurangan listrik mencapai 100 MW. Dari 400 MW kebutuhan listrik Aceh, hanya 300 yang tersedia. Akibatnya kekurangan listrik di Aceh harus disuplai dari Sumatra Utara. Bila PLTA Peusangan I dan Peusangan II beroperasi di tahun 2021, kekurangan listrik Aceh mampu diatasi.
Sebelum PLTA Peusangan beroperasi, pihak PLN – UIP Kitsum Sumatera Utara, mengundang Forkopimda Aceh Tengah, plus wartawan ke Pulau Jawa. Tujuannya untuk melihat bagaimana perkembangan PLTA terbesar di Asia Tenggara, yang kapasitasnya 1.008 Megawatt (MW) dengan produksi energi listrik rata-rata 1.428 Giga Watthour (GWh) pertahun.
PLTA Peusangan memang “anak bawang” bagi PLTA Cirata, Cipeundeuy, Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Cianjur. Namun pihak PLTA Peusangan ingin mendapatkan masukan agar, agar ilmu PLTA Cirata, mampu hadir di Gayo.
Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubabakar, Kajari Takengon, Nislianuddin, Dandim 0106 Letkol. Inf Hendry Widodo, Yubel Sitompul, PT PLN (Persero) UIP KITSUM dan rombongan, awal Maret 2019 bertandang ke proyek PLTA Cirata. Mereka disambut hangat oleh Kepala Badan Pengelola Waduk Cirata, Wawan Darmawan dan sejumlah manajer lainnya.
Wawan menjelaskan, PLTA Cirata mampu menyuplai listrik untuk Pulau Jawa, Madura dan Bali, memiliki area mencapai 7.100 hektare. Di sinilah waduk buatan untuk pembangkit listrik ini diciptakan. Berbeda dengan Aceh Tengah yang sudah memiliki Danau Lut Tawar, tidak perlu lagi dibuat waduk.
Waduk Cirata ternyata bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan listrik. Ada sumber penghidupan baru untuk masyarakat di sana. Ada yang bergerak di sektor pertanian, bisnis, agrilokal, transmigrasi, transportasi air, budidaya ikan (KJA) dan mina padi.
Menjawab Waspada, Wawan mengakui dana CSR yang setiap tahunya naik, benar benar dimanfaatkan untuk kesejahtraan masyarakat sekitar waduk. Berbagai sektor yang dibantu dari dana CSR sudah sangat mempengaruhi perekonomian masyarakat.
“Semoga PLTA Peusangan jauh lebih baik dalam pengelolaannya. Harapan kami negeri yang dikenal dengan kopi ini akan bagus PLTA- nya. Makanya saat ini kami tidak menyuguhkan kopi, karena yang datang ini adalah pakarnya kopi,” sebut Wawan sambil melepaskan tawa.
Candaan Wawan juga dibalas Bupati Aceh Tengah Shabela, “ Bapak enggak usah takut, kami juga membawa kopi untuk dicicipi. Namun kami juga perlu tahu bagaimana PLTA Cirata, agar nantinya PLTA Pesangan dapat mengikutinya,” sebut bupati.
Wawan menambahkan, sebelum rombongan melihat sejumlah perangkat pembangkit PLTA, sekilas tentang sejarah PLTA Cirata kiranya perlu diketahui. Pendirian PLTA ini diilhami dengan letak sungai Citarum dan alam yang subur, bergunung-gunung dan dianugerahi curah hujan yang tinggi.
Pembangunan proyek PLTA Cirata merupakan salah satu cara pemanfaatan potensi tenaga air di Sungai Citarum yang letaknya di wilayah Kabupaten Bandung, kurang lebih 60 km sebelah barat laut kota Bandung atau 100 km dari Jakarta melalui jalan Purwakarta.
Waduk Cirata dibagi menjadi tiga, zonasi Kabupaten Bandung Barat, zonasi Kabupaten Cianjur dan zonasi Purwakarta.PLTA Cirata merupakan Proyek Induk Pembangkit Hidro Jawa Barat (Pikitdro Jabar). Selama ini masyarakat sudah memanfaatkan waduk Cirata untuk sumber ekonomi, kedepannya danau ini akan menjadi educationol tourism.
Ketika ditanya soal KJA (Keramba jaring Apung), Wawan menjelaskan, ini pengalaman berharga untuk PLTA Peusangan. “Jangan sempat menimbulkan masalah baru diadakan penertiban. Kami di sini juga mendapatkan tantangan dalam KJA,” jelasnya.
Pemerintah sudah menetapkan KJA yang boleh beroperasi hanya 12.000 petak, namun jumlahnya sempat over mencapai 98.000 lebih. Otomatis harus ditertibkan karena memengaruhi kondisi air. Untuk saat ini air di waduk Cirata masuk klas 4. Artinya layak untuk pertanian, bukan perikanan apalagi untuk diminum.
Awalnya pihak PLTA memberikan bantuan benih dan pakan melalui CSR dan diharapkan nelayan selanjutnya mampu menyediakan benih dan pakan sendiri untuk mengelola ikannya, sebut wawan.
Namun muncul persoalan dengan over KJA. Setiap panen ikan, ada 430 ton sisa pakan ikan yang tertimbun. Dampaknya sangat tidak baik untuk penyelamatan danau dan sumber air. PLTA Peusangan harus memerhatikan persoalan ini jauh hari, agar tidak menjadi masalah nantinya.
Bila semuanya sudah diluar batas ketentuan, tentunya membutuhkan biaya untuk penertibannya. Awal mulanya masyarakat menyatakan kesiapanya untuk membongkar, ketika dibutuhkan oleh pihak PLTA, kenyataannya harus dilakukan penertiban.
Demikian dengan persoalan tanah. Tanah-tanah yang sudah dimiliki PLTA, sebut Rizki Tri Pamungkas, Supervisor Pengamanan Aset & CSR, menjawab Waspada, kerap menimbulkan masalah. “Mungkin di Aceh bisa diterapkan persoalan ini, sebelum bermasalah lebih baik ditertibkan,” sebut Rizki yang menemani Waspada saat meninjau power house bawah tanah.
Mengapa bisa menimbulkan masalah, tanya Waspada. “Awalnya masyarakat membuat perjanjian akan memanfaatkan lahan yang sudah menjadi milik PLTA. Apabila tanah tersebut dipakai pihak PLTA, mereka tidak meminta kompensasi apapun,” jelas Rizki.
Kenyataanya ketika diminta mundur, kerap bermasalah. Ada tanah itu yang justru sudah dibayar Pajak PBB oleh masyarakat. Ada yang bertahan dengan beragam dalil, akhirnya harus dikeluarkan biaya untuk menertibkanya, sebutnya.
PLTA Peusangan bila tidak mau bermasalah, jangan memberikan kelonggaran terhadap aset milik PLTA. Zona aman, zona merah harus benar-benar diperhatikan, karena ketika bermasalah tentunya harus dilakukan penertiban. Sudah pasti membutuhkan biaya, waktu dan menyita tenaga serta pikiran, kata Rizki.
Cirata merupakan meganya listrik Indonesia. Kekuatannya mampu menerangi Jawa Madura dan Bali. Agar proyek ini tetap berjalan dengan baik, tentunya pemeliharaan merupakan hal yang tak bisa ditawar.
Pihak PLTA selaian memiliki alat khusus, juga memiliki SDM khusus dalam penyelamatan serta pemeliharaan pembangkit listrik ini. Bila waduk ini hancur, air meluap ke mana-mana. Jakarta saja di kawasan tol, akan mendapatkan sapuan air setinggi 10 meter.
Untuk itu selain perawatan teknis tentang bendungan, serta sejumlah fasilitas lainya, pihak PLTA Cirata juga berkewajiban menjaga keseimbangan lingkungan, serta tetap melibatkan masyarakat untuk memanfaatkan fasilitas yang ada untuk sumber ekonomi.
Yubel Sitompul, Bidang Komunikasi PT PLN (Persero) UIP KITSUM, Sumatra Utara, kepada Waspada menyebutkan, pihaknya menginginkan agar PLTA Peusangan dapat mengikuti jejak gemilangnya PLTA Cirata, walau kapasitas yang dihasilkan berbeda.
“Kita harus mencontoh bagaimana PLTA Cirata mengelolanya dengan baik. Saya berharap pada tahun 2021, PLTA Peusangan sudah beroperasi. Ilmu yang didapat dari PLTA Cirata juga harus diterapkan di Takengon, saya yakin pihak PLTA mampu mewujudkanya,” sebut Bupati Aceh Tengah, Shabela Abubakar menjawab Waspada saat perjalanan pulang dari waduk Cirata. (Bahtiar Gayo)