Banda Aceh (Waspada Aceh) – Masyarakat Aceh korban bencana dahsyat banjir bandang dan tanah longsor saat ini sangat membutuhkan bantuan yang bersifat dasar, seperti makanan, obat-obatan, layanan kesehatan, serta tempat berlindung yang layak dari ancaman elemen alam.
Kehadiran negara secara nyata dan bertanggung jawab dalam situasi darurat kemanusiaan adalah kewajiban konstitusional, bukan sekadar wacana atau retorika.
Wali Nangroe Aceh, Tgk Malik Mahmud Alhaytar menegaskan hal itu dalam keterangan yang diterima Waspada, Sabtu (27/12/2025).
Menurutnya, Aceh masih. berada dalam fase yang berat dalam menghadapi bencana hidrometeorologi yang meluas dan berkepanjangan.
Dalam kondisi demikian, seluruh elemen bangsa—pemerintah, aparat keamanan, tokoh adat, ulama, dan masyarakat—dituntut untuk menahan diri, memperkuat empati, serta mengedepankan semangat persaudaraan dan kemanusiaan sebagai fondasi kehidupan bersama.
“Negara dituntut hadir secara utuh, tidak hanya melalui kebijakan dan sumber daya, tetapi juga melalui keteduhan sikap, kebijaksanaan tindakan, dan keadilan dalam mengelola dinamika sosial,” tegasnya.
Di tengah ujian kemanusiaan tersebut, telah terjadi insiden pada 25 Desember 2025 di Aceh Utara, serta peristiwa lanjutan pada malam hari di kawasan Kreung Mane – Kuta Blang, Kabupaten Bireuen. Peristiwa ini menjadi perhatian serius karena terjadi pada saat masyarakat Aceh sangat membutuhkan ketenangan, perlindungan, dan kepastian kehadiran negara.
Sehubungan dengan hal tersebut, Wali Nanggroe Aceh menyampaikan sikap kenegaraan sebagai berikut:
1. Negara Harus Hadir dengan Ketenangan dan Kebijaksanaan
Wali Nanggroe menyampaikan keprihatinan yang mendalam atas terjadinya peristiwa tersebut. Dalam kondisi darurat bencana, setiap tindakan negara—terutama yang melibatkan aparat—harus mencerminkan pengendalian diri, kebijaksanaan, serta penghormatan penuh terhadap martabat warga sipil.
Kekuatan negara tidak diukur dari kerasnya tindakan, melainkan dari kemampuannya menjaga ketertiban tanpa melukai rasa keadilan dan kemanusiaan.
2. Aceh dan Pilihan Sejarah terhadap Perdamaian
Aceh adalah wilayah yang secara sadar dan bermartabat telah memilih jalan perdamaian. Pilihan ini merupakan hasil dari perjalanan sejarah yang panjang, penuh pengorbanan, dan lahir dari kebijaksanaan kolektif. Oleh karena itu, setiap dinamika sosial di Aceh harus dikelola melalui pendekatan persuasif, dialogis, dan berlandaskan hukum, agar tidak menggerus kepercayaan masyarakat terhadap negara.
3. Penegakan Disiplin sebagai Wujud Kehormatan Institusi Negara
Wali Nanggroe meyakini bahwa Tentara Nasional Indonesia dan seluruh institusi negara memiliki mekanisme internal yang kuat untuk menjaga disiplin, profesionalisme, dan etika tugas.
Oleh sebab itu, penyelidikan yang objektif, transparan, dan bertanggung jawab terhadap setiap dugaan pelanggaran merupakan bagian dari upaya menjaga kehormatan institusi negara, bukan sebaliknya. Kepercayaan rakyat adalah fondasi utama kekuatan negara.
4. Imbauan Kenegaraan untuk Menahan Diri
Wali Nanggroe mengimbau seluruh pihak—baik aparat maupun masyarakat—untuk menahan diri, menjaga ketenangan, dan tidak terpancing oleh situasi yang dapat memperkeruh suasana. Stabilitas Aceh hanya dapat terjaga melalui sikap saling menghormati, kepatuhan terhadap hukum, dan kesadaran akan tanggung jawab bersama sebagai satu bangsa.
5. Fokus Utama Negara: Kemanusiaan dan Pemulihan Aceh
Dalam konteks yang lebih luas, Wali Nanggroe menegaskan bahwa prioritas utama negara saat ini adalah kemanusiaan. Oleh karena itu, percepatan pembentukan dan pengaktifan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh yang terintegrasi, profesional, dan berkelanjutan merupakan kebutuhan mendesak, sejalan dengan arah kebijakan Presiden Republik Indonesia.
Pemulihan Aceh tidak boleh terfragmentasi, melainkan harus dikelola secara terpadu demi martabat, keadilan, dan masa depan rakyat Aceh.
6. Menjaga Warisan Perdamaian sebagai Tanggung Jawab Negara
Perdamaian Aceh adalah aset nasional dan warisan sejarah bangsa Indonesia. Menjaganya bukan hanya tanggung jawab masyarakat Aceh, tetapi juga tanggung jawab seluruh unsur negara.
Tidak boleh ada tindakan, dari pihak mana pun, yang berpotensi melemahkan rasa aman, rasa keadilan, dan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Demikian siaran pers ini disampaikan sebagai seruan kenegaraan untuk keteduhan, kebijaksanaan, dan keadilan, demi Aceh yang damai dan Indonesia yang bermartabat.
Semoga Allah SWT senantiasa melindungi Aceh dan membimbing kita semua dalam mengambil keputusan yang arif, adil, dan bertanggung jawab. (*)



