“Waktu relawan datang, anak-anak dikasih buku hadiah. Mereka jadi semangat”
Memasuki hari ke-19 pascabencana banjir bandang dan longsor, Gedung Serbaguna Tgk Chik Pante Geulima, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, masih menjadi tempat berteduh ratusan warga terdampak, Rabu (17/12/2025).
Sebanyak 809 pengungsi dari dua desa bertahan di gedung tersebut. Rumah mereka belum dapat dihuni, sebagian tertimbun lumpur, sebagian lain rusak parah. Tikar-tikar pengungsian digelar rapat memenuhi lantai gedung.
Karung-karung berisi pakaian dan barang seadanya tersusun di sepanjang dinding, menjadi penanda hidup yang terpaksa disederhanakan.
Sore hari, suasana di pengungsian terasa lebih lengang. Sejumlah ibu tampak melipat pakaian sambil berbincang pelan, saling menguatkan. Di halaman gedung, anak-anak bermain mobil-mobilan dan batu, menciptakan tawa kecil yang sesekali memecah sunyi.
Di salah satu sudut gedung, Hanisah (42), warga Gampong Manyangcut, Kecamatan Meureudu, duduk bersama dua anaknya, Muhammad Riza dan Siti Humaira. Senyum tipis menyambut siapa pun yang mendekat.
Hampir tiga pekan sudah Hanisah dan keluarganya hidup di pengungsian sejak banjir bandang melanda desanya pada 26 November 2025.
“Air mulai naik sekitar pukul dua dini hari. Kami terbangun kaget. Tidak lama kemudian rumah sudah terendam, hampir dua meter,” tutur Hanisah pelan.
Lumpur masuk ke dalam rumah hingga ke bawah tempat tidur. Dalam kepanikan, Hanisah bersama suami dan ketiga anaknya bergegas menyelamatkan diri. Dua anak digendong, satu dituntun, menembus gelap dan air yang terus naik.
“Di desa kami memang sering banjir, tapi tidak pernah terbayang akan separah ini. Air datang begitu cepat, tengah malam,” katanya.

Beberapa hari setelah kejadian, mereka sempat menumpang di rumah saudara. Bahkan, sebagian waktu dihabiskan di dalam mobil karena kondisi rumah belum memungkinkan untuk ditempati. Baru pada hari kelima pascabencana, Hanisah dan keluarganya menetap di pengungsian.
“Hampir semua pakaian hanyut. Alhamdulillah, berkas-berkas penting masih sempat kami selamatkan,” ujarnya.
Di pengungsian, kebutuhan makan dinilai cukup. Pengungsi mendapatkan makanan tiga kali sehari dan pasokan air minum tersedia. Bantuan juga diterima sesuai data keluarga.
“Alhamdulillah selama di sini dibantu relawan, termasuk dari Tagana Jawa Timur,” kata Hanisah.
Namun keterbatasan tetap dirasakan. Air bersih untuk mandi belum mencukupi sehingga warga harus pergi ke masjid terdekat. Beberapa pengungsi sempat mengalami batuk dan pilek, namun telah ditangani oleh tim kesehatan yang rutin datang ke lokasi.
Di tengah keterbatasan, perhatian juga diberikan pada kondisi psikologis anak-anak.
Relawan memfasilitasi kegiatan belajar sederhana. Anak-anak diberi buku, diajak membaca, dan mengikuti aktivitas ringan agar tetap ceria.
“Waktu relawan datang, anak-anak dikasih buku hadiah. Mereka jadi semangat,” ujar Hanisah.
Ketegarannya begitu terasa ketika ia berbicara tentang kehilangan. Ia menghela napas sejenak, lalu berkata lirih namun mantap.
“Namanya juga musibah. Mau bagaimana lagi, harta semua titipan Allah,” ujarnya. “Kalau Allah ambil, berarti ada rezeki lain yang sedang disiapkan. Yang penting kami masih diberi selamat.”

Hingga kini, rumah Hanisah masih dipenuhi lumpur setinggi pinggang dan belum bisa dibersihkan tanpa bantuan alat berat. Ia dan keluarga masih menunggu kepastian terkait masa depan tempat tinggal mereka.
“Soal relokasi kami belum tahu. Tadi pagi baru didata, apakah rumah bisa ditinggikan atau harus pindah. Harapannya kami tetap bisa tinggal di sana,” katanya.
Bagi Hanisah, kehilangan harta masih bisa diterima. Yang terpenting, anak-anaknya selamat dan tidak larut dalam trauma.
“Selama nyawa masih ada, insyaallah rezeki bisa dicari lagi. Kami siap mulai dari nol,” ucapnya.
Di Gedung Tgk Chik Pante Geulima, para penyintas belajar menerima kehilangan dengan ketegaran. Harta boleh hanyut, rumah boleh lumpuh oleh lumpur, tetapi harapan tak ikut tenggelam.
Selama nyawa masih diberi keselamatan, mereka percaya rezeki bisa dicari kembali perlahan, dari titik nol, dengan doa dan kesabaran. (*)



