Minggu, Desember 14, 2025
spot_img
BerandaAcehTali Harapan di Tengah Bencana: Kisah Pengungsi Gayo Lues yang Terisolir

Tali Harapan di Tengah Bencana: Kisah Pengungsi Gayo Lues yang Terisolir

“Di tengah sungai yang ganas, seutas tali membentang, menjadi simbol kehidupan dan perlawanan terhadap keterisolasian”

Di atas sungai yang mengamuk, seutas tali menjadi satu-satunya penghubung antara harapan dan keputusasaan, antara hidup dan mati.

Malam itu, Rabu (26/11/2025), bencana alam datang menerpa Desa Pasir, Kecamatan Tripe Jaya, Kabupaten Gayo Lues, Aceh. Banjir bandang tersebut meluluhlantakkan segala yang dilewatinya.

Dua jembatan penghubung, urat nadi kehidupan warga lenyap tanpa sisa. Dalam sekejap, sebuah kampung yang selana ini damai, dengan ratusan keluarga, terputus dari dunia luar.

Tak ada jalan. Tak ada jembatan. Tak ada listrik, gelap gulita. Tak ada jaringan internet dan selular. Yang tersisa hanyalah warga yang panik, cemas, air mata, tapi tetap memiliki tekad untuk bertahan hidup.

Desa Pasir kini benar-benar terisolir. Sebanyak 310 kepala keluarga dengan sekitar 1.200 jiwa harus mengungsi ke lereng bukit bernama Bur Kibo, tempat yang dianggap paling aman dari aliran sungai.

Ratusan tenda biru berdiri berjajar di sana sebagai rumah sementara bagi mereka yang telah kehilangan segalanya. Di sini mereka bertahan hidup di tengah ancaman kelaparan

Sebagian besar rumah warga telah rata dengan tanah. Sedikitnya 204 rumah hanyut, 18 rusak berat, 35 rusak ringan.

Tak ada korban jiwa. Namun kehilangan materi (harta benda) dan trauma mendalam menyelimuti setiap pengungsi.

“Kami hanya selamat dengan baju yang ada di badan. Semua isi rumah ikut dibawa air,” ucap Ida, seorang warga, matanya sembab, suaranya bergetar.

Namun, di tengah keterbatasan, lahirlah inisiatif dari para pemuda Desa Pasir. Mereka membentuk panitia penyalur bantuan. Bukan dengan kendaraan, bukan dengan perahu. Tetapi dengan tali sepanjang 60 meter yang dibentangkan melintasi sungai keruh dan deras.

Karung beras seberat 15–16 kilogram digantungkan ke tali itu. Sedikitnya empat pemuda terlibat setiap kali pengiriman.

Ada yang tugasnya menarik, ada yang mengangkat, ada pula yang menopang tali dengan kayu agar karung tidak tercelup ke air.

Beras, mi instan, minyak goreng yang bersumber dari Pemerintah Aceh, pemerintah daerah, masyarakat, hingga sanak saudara bergerak perlahan melawan arus sungai.

Tali itu bukan sekadar alat, ia menjadi urat nadi kehidupan para korban terdampak bencana, yang terisolir.

Pertemuan yang Tak Pernah Terjadi

Dari tepi sungai, keluarga dari luar desa datang menjenguk. Namun mereka tak bisa menyeberang. Tak bisa memeluk. Tak bisa mendengar cerita secara langsung.

Mereka hanya melambaikan tangan dari kejauhan, dari seberang arus sungai yang deras, memberikan isyarat bahwa mereka telah datang.

Ada yang berteriak memanggil nama saudaranya dengan suara parau, menahan tangis. Ada pula yang terdiam, menatap hamparan tanah kosong, tempat rumah mereka dulu berdiri. Air matanya tak terbendung.

Jika ada bantuan titipan untuk keluarga tertentu, panitia menuliskan nama pengirim dan penerima pada kotak kardus. Semua dicatat rapi, lalu dikirim lewat tali.

Bahkan surat-surat kecil dari pengungsian, seperti permintaan obat, kebutuhan darurat dikirim lewat jalur yang sama. Tak sedikit surat itu jatuh ke sungai, hanyut atau diterbangkan angin. Namun para pemuda tak menyerah. Pesan itu disampaikan ulang.

Harapan di Tengah Bencana

Sementara itu, Kepala Desa Pasir, Tuah, berdiri di Posko Tanggap Darurat dengan wajah lelah namun tetap tegar.

Kepala Desa Pasir, Tuah. (Foto/Kia)

“Betul-betul terisolir. Warga kami tidak bisa keluar desa. Listrik padam, jaringan internet tidak ada sejak kejadian,” ujarnya kepada Waspadaaceh.com, saat ditemui beberapa waktu lalu.

Ia menjelaskan bahwa sejak dua jembatan hancur, satu-satunya cara penyaluran bantuan hanyalah lewat tali buatan warga. Semua bantuan dikumpulkan terlebih dahulu di posko tepi sungai sebelum dikirimkan ke pengungsian.

“Kami bersyukur korban jiwa nihil. Tapi kami sangat berharap bantuan terus ada,” sebutnya.

Lebih dari sekadar sembako, Tuah menyampaikan harapan besar warganya. Paling penting kata dia, jembatan cepat dibangun, akses jalan, dan membangun kembali di pertapakan rumah.

“Yang sangat kita harapkan segera dibangun jembatan. Kedua akses jalan. Ketiga pertapakan rumah masyarakat,” tuturnya.

Ia khawatir, jika penanganan lambat, kebutuhan pengungsi tak lagi terpenuhi.

Seutas Tali, Sejuta Keteguhan

Di Desa Pasir, bencana telah merenggut rumah, harta, dan rasa aman. Namun ia gagal merenggut solidaritas.

Di tengah sungai yang ganas, seutas tali membentang, menjadi simbol kehidupan dan perlawanan terhadap keterisolasian.

Setiap tarikan tali adalah bukti bahwa harapan masih hidup. Bahwa selama masih ada tangan yang saling menggenggam, Desa Pasir tak benar-benar sendirian.

Dan di atas Bur Kibo, di antara tenda-tenda biru dan malam tanpa cahaya, warga Desa Pasir terus menunggu. Baik menunggu bantuan, menunggu jembatan, menunggu hari ketika mereka bisa pulang dan memulai kembali kehidupan dari nol. (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER