“Milo habis, susu habis, tahu habis..kue-kue habis. Anak-anak minum air tampungan hujan karena tak ada air lagi”
Suara itu bergetar seperti daun yang tergeletak di ambang jurang, merembes di ujung telepon. Hendra Vramenia, Pemimpin Redaksi kabartamiang.com, berusaha menyeka air mata yang ingin meluap.
Jurnalis ini mengenang bagaimana langkah-langkahnya yang lemah tapi tegar menembus arus banjir, dan menjejak lumpur. Bahkan ia berjalan kaki dari Aceh Tamiang hingga ke Pangkalan Susu, Sumatra Utara — sebuah perjalanan yang tak hanya mencari jalan, tapi menyelamatkan nyawa anak-anaknya.
Baginya tidak ada yang lebih berharga di dunia ini selain menyelamatkan anak-anaknya dari banjir bandang yang melahap Aceh Tamiang sejak akhir November lalu.
“Saya selamat… tapi saya tak sanggup melihat mata anak-anak yang kosong karena kelaparan. Saya berjalan, cuma berjalan kaki, sampai ke Pangkalan Susu,” katanya kepada Waspada Aceh, Sabtu (6/12/2025). Suaranya masih bergetar, bagai deru arus yang pernah hampir menelan nyawanya.
Ia bukan satu-satunya. Ribuan warga hingga kini masih terjebak di tengah lumpur, akses terputus, dan persediaan makanan yang menipis. Banyak korban menyebut banjir kali ini lebih buruk dari tsunami—bukan karena tinggi air, melainkan volume lumpur yang menyapu apa pun di depannya.

Air Naik dalam Hitungan Jam
Rabu dini hari, 26 November, air masuk ke halaman rumah warga Kampung Bundar, Kecamatan Karang Baru. Dalam satu jam, genangan mencapai pagar. Menjelang pukul 08.00 WIB, ruang tamu sebagian besar rumah sudah tergenang. Hendra dan istrinya, Siti Jamilah, mengamankan pakaian, dokumen, dan kebutuhan anak-anak mereka.
Namun air terus naik. Pukul 16.00 WIB, ketinggian air di rumah mereka sudah sedada orang dewasa.
Mengungsi ke Masjid, Logistik Menipis
Rumah ibu Hendra di Kampung Dalam ikut terendam. Pukul 23.00 WIB, keluarga ini mengungsi ke masjid. Namun subuh esoknya, air kembali naik. Pukul 09.00 WIB, warga harus naik ke lantai dua. Mereka bertahan hingga 3 Desember.
Mulai Jumat, situasi memburuk. “Milo habis, susu habis, tahu habis… kue-kue habis. Anak-anak minum air tampungan hujan karena tak ada air lagi,” ujar Hendra, suaranya kembali terbata-bata.
Listrik padam sejak 27 November. Sinyal telepon hilang total. Para pengungsi benar-benar terputus dari dunia luar.
Ketika anak-anak mulai kelaparan, Hendra nekat keluar dari masjid. Air deras hampir menyeretnya. Ia berenang melawan arus, menembus lumpur, tangannya tersayat seng, kakinya tertusuk paku. Upaya kedua lebih berbahaya: ia sempat terseret beberapa meter sebelum ditolong warga.
Namun ia terus berjalan hingga tiba di Desa Sukajadi, satu-satunya lokasi yang masih memiliki stok dagangan. “Meski ada penjarahan, saya tak mau. Saya mau beri makan anak dengan cara baik,” katanya.
Dengan uang tersisa, ia membeli mi instan dan roti. Perjalanan pulang-pergi memakan waktu hampir sejam menembus air sedada. “Hari itu anak-anak akhirnya bisa makan,” ujarnya.
Hari Minggu adalah titik di mana Hendra tak bisa lagi menahan air mata. Saat membersihkan rumah ibunya yang penuh lumpur, ia menangis.
“Tiba-tiba anak saya yang mondok pulang… jalan kaki dua hari dua malam,” cerita Hendra terisak.
Assiddiq Rafael, putranya yang santri di salah satu pesantren di Aceh Timur, berjalan bersama 22 teman lainnya hingga tiba di Aceh Tamiang.
Setelah memastikan keselamatan keluarga, Hendra memutuskan mengevakuasi anak-anak ke rumah kerabat di Pangkalan Susu, berjalan kaki sejauh 1,5 jam.
Kampung Hilang, Bantuan Tak Sampai
Beberapa kampung di Kecamatan Sekerak dan Bandar Pusaka, kata Hendra, hilang tak berbekas. Banyak warga kelaparan karena belum tersentuh bantuan. “Jangan sampai warga Aceh Tamiang meninggal bukan karena banjir, tapi kelaparan,” ujarnya.
Pengungsian memasuki fase kritis: penyakit mulai merebak, logistik menipis, akses darat terputus, dan ribuan warga masih terjebak.
“Agar tidak ada korban jiwa karena bantuan terlambat,” kata Hendra, memohon pemerintah mempercepat penanganan. (*)



