Banda Aceh (Waspada Aceh)— Dalam rangka kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 HAKTP) 2025, sejumlah organisasi perempuan dan lembaga masyarakat sipil menyelenggarakan webinar bertema “Keamanan Cyber bagi Perempuan: Melindungi Ruang Digital dari Kekerasan Berbasis Gender”, Selasa (25/11/2025).
Kegiatan ini digagas oleh Flower Aceh bersama Komnas Perempuan, Universitas Binus, Islamic Relief Indonesia, KontraS Aceh, Balai Syura, FAMM Sumatera, FORHATI Aceh, Forum Anak Tanah Rencong, Sekolah HAM Perempuan, dan Lentera Habibi.
Webinar tersebut menyoroti meningkatnya ancaman kekerasan berbasis gender online (KBGO) yang dinilai semakin mengikis rasa aman perempuan di Aceh dan Indonesia.
Koordinator Divisi Kajian, Publikasi, dan Pendidikan Flower Aceh, Hendra Lesmana, menyebutkan perkembangan teknologi memang membuka peluang baru bagi perempuan untuk belajar, bekerja, dan berkarya. N
amun, pada saat yang sama, risiko kekerasan digital juga meningkat, mulai dari doxing, penyebaran konten intim nonkonsensual, peretasan, ancaman, hingga ujaran kebencian berbasis gender.
“Dampaknya sangat serius, bukan hanya pada kesehatan mental, tetapi juga pada keselamatan dan ruang gerak perempuan,” kata Hendra.
Dari KontraS Aceh, Koordinator Azharul Husna menegaskan bahwa kekerasan terhadap perempuan terus berevolusi mengikuti perkembangan zaman.
“Dulu kekerasan hadir dalam situasi konflik bersenjata. Hari ini, perempuan kembali mengalaminya di jalanan dan di layar ponsel mereka. Negara tidak boleh membebankan keamanan digital hanya pada perempuan,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Dosen Universitas Binus, Ika Dyah AR, yang menilai kekerasan digital sering kali meninggalkan luka yang tidak terlihat.
“Ruang digital yang seharusnya menjadi tempat inspirasi malah jadi arena baru kekerasan. Negara dan platform digital wajib memastikan ruang online yang aman dan bebas intimidasi,” katanya.
Sementara itu, Koordinator Pengorganisasian Masyarakat Flower Aceh, Ernawati, menekankan pentingnya kolaborasi semua pihak. “Ruang digital semakin melekat dalam kehidupan kita. Risiko KBGO pun meningkat. Karena itu, perlindungan digital bagi perempuan harus menjadi prioritas bersama,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Flower Aceh, Riswati, mengingatkan bahwa keamanan digital kini menjadi kebutuhan mendasar bagi perempuan dan kelompok rentan.
“Keamanan digital adalah hak asasi manusia. Negara punya tanggung jawab memastikan ruang digital yang aman agar perempuan, anak, dan kelompok marjinal bisa berekspresi dan berkontribusi dalam pembangunan yang inklusif,” katanya.
Webinar ini dipandu oleh Niswah, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Syiah Kuala (USK). Ia menutup diskusi dengan ajakan untuk memperkuat literasi digital, menghapus budaya menyalahkan korban, dan mendorong tanggung jawab platform serta negara dalam menghadirkan perlindungan yang efektif.
Koordinator Bidang Acara Kampanye 16 HAKTP, Gebrina Rezeki, menambahkan bahwa sepanjang 25 November hingga 10 Desember 2025, gerakan perempuan di Aceh akan menggelar berbagai kegiatan kampanye dan aksi kolektif yang melibatkan Flower Aceh, Balai Syura, dan sejumlah lembaga lainnya. (*)



