Jumat, November 21, 2025
spot_img
BerandaAcehBisakah MBG Rp7 Triliun Jadi Katalis Ekonomi Aceh?

Bisakah MBG Rp7 Triliun Jadi Katalis Ekonomi Aceh?

Dengan strategi komprehensif, melibatkan seluruh elemen masyarakat, MBG bukan hanya akan meningkatkan gizi anak, tetapi juga menjadi lokomotif penggerak ekonomi.

Anggaran Rp7 triliun yang dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Aceh pada tahun 2026, bak oase di tengah gurun pasir. Ia menjanjikan harapan baru bagi peningkatan gizi anak-anak sekaligus penguatan ekonomi daerah. Namun, janji ini bisa sirna jika tak dikelola dengan arif dan bijaksana.

Saat ini, ironi masih mencengkeram bumi Serambi Mekkah. Di satu sisi, Aceh memiliki potensi lahan subur dan laut kaya. Di sisi lain, diperkirakan 70% kebutuhan pangan harian daerah ini masih bergantung pada pasokan dari provinsi tetangga. Fakta ini, pernah diungkapkan Zubir Marzuki, praktisi perdagangan pangan Aceh. Ketergantungan ini tentu menjadi tamparan keras bagi Aceh.

Program MBG, dengan anggaran fantastisnya, seharusnya menjadi momentum untuk membalikkan keadaan. Namun, gelontoran dana saja tidak cukup. Penguasa Aceh perlu strategi yang lebih komprehensif, yang menyentuh akar permasalahan dan melibatkan seluruh elemen masyarakat.

Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Mukhlis, pakar ekonomi dari Universitas Syiah Kuala, MBG harus dikelola dengan pendekatan produktif, bukan sekadar konsumtif. Dinas Pendidikan sebagai pelaksana utama harus membuat pedoman pengadaan yang mewajibkan sebagian besar bahan pangan berasal dari produk lokal. Kemitraan langsung antara sekolah dengan kelompok tani dan koperasi harus diutamakan untuk memberikan kepastian pasar bagi petani Aceh.

Ketua ISEI Aceh, Aliasuddin, juga menekankan pentingnya pembenahan rantai pasok pangan daerah. Pembentukan koperasi sebagai off-taker di setiap kabupaten/kota, didukung dengan fasilitas logistik yang memadai seperti cold storage dan pasar induk modern, adalah kunci untuk meningkatkan daya saing produk lokal.

Lebih dari itu, Dinas Pertanian Aceh dan instansi terkait harus menjadikan kebutuhan MBG sebagai acuan perencanaan produksi. Pemetaan kebutuhan telur, sayur, cabai, ikan, hingga daging setiap bulan dapat menjadi dasar penerapan skema contract farming yang memberikan kepastian pasar dan memotivasi petani untuk meningkatkan produksi.

Namun, semua upaya ini akan sia-sia jika tidak ada koordinasi yang solid antar dinas terkait. Tim koordinasi lintas dinas yang bertugas memetakan kemampuan produksi daerah, memantau harga, mencocokkan produsen dengan sekolah, hingga mengevaluasi dampak ekonomi, adalah sebuah keniscayaan.

Regulasi MBG juga harus memberikan keberpihakan pada produk lokal. Klausul afirmatif seperti kewajiban penggunaan produk lokal dan insentif bagi daerah yang meningkatkan proporsi belanja dalam Aceh, harus menjadi bagian tak terpisahkan dari program ini.

Tak kalah penting adalah keterlibatan desa dan dapur sekolah. Dinas Kesehatan harus menetapkan standar menu bergizi berbasis pangan lokal Aceh. Pelatihan katering, PKK, dan dapur sekolah perlu dilakukan secara berkala untuk menjaga mutu makanan. Dana Desa dapat diarahkan untuk produksi sayur, cabai, ikan, buah, telur dan komoditas lain yang bisa diserap oleh MBG.

Dengan strategi yang komprehensif dan melibatkan seluruh elemen masyarakat, MBG bukan hanya akan meningkatkan gizi anak-anak Aceh, tetapi juga menjadi lokomotif penggerak ekonomi petani, nelayan, peternak, dan UMKM.

Mimpi swasembada pangan bukan lagi sekadar wacana, tetapi sebuah visi yang bisa diwujudkan bersama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat sekaligus menurunkan angka kemiskinan Aceh (*)

BERITA TERKINI
- Advertisment -
Google search engine

BERITA POPULER