Banda Aceh (Waspada Aceh) – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Aceh dengan anggaran jumbo Rp7 triliun pada 2026 dinilai belum memberi dampak maksimal untuk ekonomi lokal.
Pasokan pangan untuk sekolah masih banyak didatangkan dari luar Aceh, terutama Sumatera Utara. Untuk belanja sayur dan cabai saja, pemerintah menghabiskan sekitar Rp90 miliar per bulan. Kondisi ini membuat sejumlah ekonom menilai diperlukan strategi yang lebih komprehensif.
“Program MBG berpotensi besar menggerakkan ekonomi Aceh. Tapi harus dikelola dengan pendekatan produktif, bukan sekadar konsumtif,” kata Prof Mukhlis, pakar ekonomi dan Dewan Pakar Pusat Riset Komunikasi Pemasaran, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, Kamis (21/11/2025).
Mukhlis menyebut Dinas Pendidikan sebagai pelaksana utama perlu membuat pedoman pengadaan yang mewajibkan sebagian bahan pangan berasal dari produk lokal. Ia menilai kemitraan langsung antara sekolah atau katering dengan kelompok tani dan koperasi bisa memberi kepastian pasar bagi petani Aceh.
“Kalau sekolah terhubung langsung dengan petani dan UMKM, uangnya berputar di Aceh,” ujarnya.
Rantai Pasok Lemah
Ketua ISEI Aceh, Aliasuddin, menambahkan bahwa rantai pasok pangan daerah masih lemah sehingga pengadaan MBG banyak bergantung pada pedagang luar Aceh.
“Dinas terkait harus memfasilitasi pembentukan koperasi sebagai off-taker di tiap kabupaten/kota. Koperasi ini yang akan menghubungkan petani, nelayan, UMKM dengan sekolah penerima MBG,” katanya.
Ia juga menilai pentingnya fasilitas logistik seperti cold storage, gudang, dan pasar induk modern agar produk lokal bisa bersaing dengan pasokan luar daerah.
Menurut Mukhlis, Dinas Pertanian Aceh dan instansi terkait perlu memakai kebutuhan MBG sebagai acuan perencanaan produksi. Pemetaaan kebutuhan sayur, cabai, ikan, hingga daging tiap bulan bisa menjadi dasar penerapan skema contract farming.
“Kontrak ini memberi kepastian pasar dan memotivasi petani meningkatkan produksi,” tuturnya.
Sementara itu, Dinas Kelautan dan Perikanan serta Dinas Peternakan diminta memastikan pasokan ikan, telur, dan ayam berasal dari pelaku usaha lokal.
Kedua pakar sepakat perlunya tim koordinasi lintas dinas untuk mengawal implementasi MBG. Tim ini bertugas memetakan kemampuan produksi daerah, memantau harga, mencocokkan produsen dengan sekolah, hingga mengevaluasi dampak ekonomi.
Aliasuddin menilai Bappeda dan BPKA perlu memastikan regulasi MBG memberi keberpihakan pada produk lokal. “Harus ada klausul afirmatif seperti kewajiban penggunaan produk lokal dan insentif bagi daerah yang meningkatkan proporsi belanja dalam Aceh,” katanya.
Libatkan Desa dan Dapur Sekolah
Dinas Kesehatan juga diminta menetapkan standar menu bergizi berbasis pangan lokal Aceh. Pelatihan katering, PKK, dan dapur sekolah disebut perlu untuk menjaga mutu makanan.
Desa juga bisa dilibatkan melalui kebun gizi, urban farming, dan industri pangan rumahan. Dana Desa dapat diarahkan untuk produksi sayur, cabai, ikan, dan komoditas lain yang bisa diserap MBG.
“Dengan strategi komprehensif ini, MBG bukan hanya meningkatkan gizi anak-anak, tapi juga menjadi penggerak ekonomi petani, nelayan, peternak, dan UMKM Aceh,” jelas Aliasuddin. (*)



