“Sebelum sampai di rumah sakit, kami sudah diuji dengan kondisi jalan yang sangat buruk”
Di Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh, masih tersembunyi sebuah ironi yang menyayat hati: jalan yang seharusnya mengantarkan pada kesembuhan, justru menjadi tembok penghalang bagi warga pedalaman untuk mendapatkan layanan kesehatan.
Bayangkanlah, bagi mereka yang tinggal di Mane, Tangse, Geumpang, dan pelosok Pidie lainnya, perjalanan menuju RSUD Tgk Chik Ditiro Sigli bukanlah sekadar menempuh jarak puluhan kilometer. Lebih dari itu, mereka harus berjibaku dengan jalanan yang seolah merampas harapan dan memaksa mereka menerima nasib tanpa ampun.
Lubang-lubang menganga, jalur yang menciut berbahaya, tikungan licin yang mengintai, dan ancaman longsor yang datang tanpa permisi. Di tengah kondisi itulah, warga yang tengah berjuang melawan penyakit harus terguncang-guncang di atas jalan yang tak bersahabat.
Keluarga mereka pun hanya bisa menggenggam erat harapan yang terasa begitu rapuh. Di Pidie, rasa sakit bukan hanya berasal dari penyakit yang diderita, tetapi juga dari perjuangan berat untuk sekadar mendapatkan pengobatan.
Dewi, seorang wanita berusia 28 tahun dari Mane, telah bertahun-tahun setia mengantar orang tuanya menjalani cuci darah setiap minggu. Setiap perjalanan adalah sebuah pertaruhan yang mendebarkan. Kecemasan selalu menghantui: akankah mereka tiba tepat waktu? Mampukah ambulans menembus jalanan berlumpur? Atau justru terjebak longsor yang seringkali menghadang?
“Kadang kami ke Sigli seperti berjudi dengan maut,” ungkapnya dengan nada lirih. “Orang tua saya sudah sakit, tapi perjalanan ini terkadang terasa lebih menyakitkan dari penyakit itu sendiri.”
Kisah yang lebih memilukan datang dari keluarga pasien kanker. Fadlun, seorang ibu berusia 32 tahun, menceritakan bagaimana ibunya harus berulang kali menjalani kemoterapi dan radioterapi hingga 25 kali. Namun, perjalanan dari kecamatan ke Sigli setiap harinya terasa seperti mengulang penderitaan yang tak berkesudahan.

“Kami terpaksa tidur di lorong rumah sakit karena tak mampu membayar penginapan. Tapi sebelum sampai di rumah sakit, kami sudah diuji dengan kondisi jalan yang sangat buruk,” keluhnya.
Kondisi jalan yang rusak seharusnya tidak pernah menjadi bagian dari sistem kesehatan. Namun, di Pidie, kenyataan pahit justru berkata lain. Jalan rusak telah menjadi “pagar besi” yang membatasi hak dasar warga pedalaman untuk mendapatkan kesehatan yang layak.
Pemerhati sosial, Ikbal, dengan tegas menyatakan bahwa persoalan ini bukan lagi sekadar keluhan, melainkan alarm darurat bagi pemerintah.
“Ini sangat menyedihkan. Jalan rusak, rumah singgah tidak tersedia, dan warga miskin harus menanggung semua beban ini. Bagaimana mereka bisa sembuh jika untuk mencapai rumah sakit saja mereka harus bertarung dengan medan yang begitu berat?” ujarnya dengan nada prihatin.
Ironisnya, Pidie memiliki APBK yang mencapai lebih dari Rp2 triliun setiap tahunnya. Namun, jalan-jalan di pedalaman yang menjadi urat nadi kehidupan masyarakat justru dibiarkan terbengkalai, seolah tidak memiliki arti penting. Padahal, setiap kilometer jalan yang rusak itu adalah jalur hidup bagi para pasien yang sedang berjuang untuk bertahan.
Kini, warga tidak hanya menuntut perbaikan jalan. Mereka juga menuntut keadilan. Mereka percaya bahwa hak untuk sehat tidak boleh dibatasi oleh infrastruktur yang rusak atau jarak yang tidak ramah.
Mereka mendesak pemerintah untuk segera membangun rumah singgah, memperbaiki jalan penghubung, dan memastikan bahwa akses kesehatan benar-benar dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, tanpa terkecuali.
Sebab, di Pidie hari ini, yang rusak bukan hanya jalan, tetapi juga rasa percaya masyarakat bahwa negara hadir untuk melindungi dan melayani mereka. (m.riza)



